Halaman

Halaman

Terjemah Bidayatul Hidayah Imam Ghazali

 KITAB TASAWUF DAN AKHLAQ

 I. Risalah Nasihat

 Mukadimah

  Aku mendengar dari orang yang kupercaya tentang sejarah perjalanan hidup Syaikh al-Imam az-Zahid. Semoga Allah senantiasa memberikan taufik pada beliau dan memeliharanya dalam menjalankan risalah agamaNya. Sejarah perjalanan hidup beliau memperkuat keinginanku untuk menjadi saudaranya di jalan Allah Swt. karena mengharapkan janji yang diberikan Allah kepada para hamba-Nya yang saling mencinta.  Persaudaraan tidak harus dengan bertemu muka dan berdekatan secara fisik, tapi yang dibutuhkan adalah adanya kedekatan hati dan perkenalan jiwa. Jiwa-jiwa merupakan para prajurit yang tunduk; jika telah saling mengenal, jiwa-jiwa itu pun jinak dan menyatu. Oleh karenanya, aku ikatkan tali persaudaraan dengannya di jalan Allah Swt.. Selain itu, aku harap beliau tidak mengabaikanku dalam doa-doanya ketika sedang berkhalwat serta semoga beliau memintakan kepada Allah agar diperlihatkan kepadaku bahwa yang benar itu benar dan aku diberi kemampuan untuk mengikutinya, dan yang salah itu salah serta aku diberi kemampuan untuk menghindarinya. Kemudian aku dengar beliau memintaku untuk memberikan keterangan berisi petuah dan nasihat serta uraian singkat seputar landasan-landasan akidah yang wajib diyakini oleh seorang mukalaf.

  Menasihati Diri

  Berbicara tentang nasihat, aku melihat diriku tak pantas untuk memberikannya. Sebab, nasihat seperti zakat. Nisab-nya adalah mengambil nasihat atau pelajaran untuk diri sendiri. Siapa yang tak sampai pada nisab, bagaimana ia akan mengeluarkan zakat? Orang yang tak memiliki cahaya tak mungkin dijadikan alat penerang oleh yang lain. Bagaimana bayangan akan lurus bila kayunya bengkok? Allah Swt. mewahyukan kepada Isa bin Maryam, “Nasihatilah dirimu! Jika engkau telah mengambil nasihat, maka nasihatilah orang-orang. Jika tidak, malulah kepada-Ku.” Nabi kita saw bersabda, “Aku tinggalkan untuk kalian dua pemberi nasihat: yang berbicara dan yang diam.”  Pemberi nasihat yang berbicara adalah Alquran, sedangkan yang diam adalah kematian. Keduanya sudah cukup bagi mereka yang mau mengambil nasihat. Siapa yang tak mau mengambil nasihat dan keduanya, bagaimana ia akan menasihati orang lain? Aku telah menasihati diriku dengan keduanya. Lalu aku pun membenarkan dan menerimanya dengan ucapan dan akal, tapi tidak dalam kenyataan dan perbuatan. Aku berkata pada diri ini, “Apakah engkau percaya bahwa Alquran merupakan pemberi nasihat yang berbicara dan juru nasihat yang benar, serta merupakan kalam Allah yang diturunkan tanpa ada kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya?” Ia menjawab, “Benar.” Allah Swt. berfirman, “Siapa yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepadanya balasan amal perbuatan mereka di dunia dan mereka di dunia ini tak akan dirugikan. Mereka itulah yang tidak akan memperoleh apa-apa di akhirat kecuali neraka. Dan gugurlah semua amal perbuatan mereka serta batallah apa yang mereka kerjakan” (Q.S. Hud: 15-16).  Allah Swt. menjanjikan neraka bagimu karena engkau menginginkan dunia. Segala sesuatu yang tak menyertaimu setelah mati, adalah termasuk dunia. Apakah engkau telah membersihkan diri dan keinginan dan cinta pada dunia? Seandainya ada seorang dokter Nasrani yang memastikan bahwa engkau akan mati atau sakit jika memenuhi nafsu syahwat yang paling menggiurkan, niscaya engkau akan takut dan menghindarinya. Apakah dokter Nasrani itu lebih engkau percayai ketimbang Allah Swt.? Jika itu terjadi, betapa kufurnya engkau! Atau apakah menurutmu penyakit itu lebih hebat dibandingkan neraka? Jika demikian, betapa bodohnya engkau ini! Engkau membenarkan tapi tak mau mengambil pelajaran. Bahkan engkau terus saja condong kepada dunia. Lalu aku datangi diriku dan kuberikan padanya juru nasihat yang diam (kematian). Kukatakan, “Pemberi nasihat yang berbicara (Alquran) telah memberitahukan tentang pemberi nasihat yang diam (kematian), yakni ketika Allah berfirman, ‘Sesungguhnya kematian yang kalian hindari akan menjumpai kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada alam gaib. Lalu Dia akan memberitahukan kepada kalian tentang apa yang telah kalian kerjakan’ (Q.S. al-Jumuah: 8).” Kukatakan padanya, “Engkau telah condong pada dunia. Tidakkah engkau percaya bahwa kematian pasti akan mendatangimu? Kematian tersebut akan memutuskan semua yang kau punyai dan akan merampas semua yang kau senangi. Setiap sesuatu yang akan datang adalah sangat dekat, sedangkan yang jauh adalah yang tidak pernah datang. Allah Swt. berfirman, ‘Bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kenikmatan pada mereka selama beberapa tahun? Kemudian datang pada mereka siksa yang telah dijanjikan untuk mereka? Tidak berguna bagi mereka apa yang telah mereka nikmati itu.’ (Q.S. asySyuara: 205-206).”  Jiwa yang merdeka dan bijaksana akan keluar dari dunia sebelum ia dikeluarkan darinya. Sementara jiwa yang lawwamah (sering mencela) akan terus memegang dunia sampai ia keluar dari dunia dalam keadaan rugi, menyesal, dan sedih. Lantas ia berkata, “Engkau benar.” Itu hanya ucapan belaka tapi tidak diwujudkan. Karena, ia tak mau berusaha sama sekali dalam membekali diri untuk akhirat sebagaimana ia merancang dunianya. Ia juga tak mau berusaha mencari rida Allah Swt. sebagaimana ia mencari rida dunia. Bahkan, tidak sebagaimana ia mencari rida manusia. Ia tak pernah malu kepada Allah sebagaimana ia malu kepada seorang manusia. Ia tak mengumpulkan persiapan untuk negeri akhirat sebagaimana ia menyiapkan segala sesuatu untuk menghadapi musim kemarau. Ia begitu gelisah ketika berada di awal musim dingin manakala belum selesai mengumpulkan perlengkapan yang ia butuhkan untuknya, padahal kematian barangkali akan menjemputnya sebelum musim dingin itu tiba. Kukatakan padanya, “Bukankah engkau bersiap-siap menghadapi musim kemarau sesuai dengan lama waktunya lalu engkau membuat perlengkapan musim kemarau sesuai dengan kadar ketahanan-mu menghadapi panas?” Ia menjawab: “Benar.” “Kalau begitu”, kataku, “Bermaksiatlah kepada Allah sesuai dengan kadar ketahananmu menghadapi neraka dan bersiap-siaplah untuk akhirat sesuai dengan kadar lamamu tinggal di sana.” Ia menjawab, “Ini merupakan kewajiban yang tak mungkin diabaikan kecuali oleh seorang yang dungu.” Ia terus dengan tabiatnya itu. Aku seperti yang disebutkan oleh para ahli hikmat, “Ada segolongan manusia yang separuh dirinya telah mati dan separuhnya lagi tak tercegah.”  Aku termasuk di antara mereka. Ketika aku melihat diriku keras kepala dengan perbuatan yang melampaui batas tanpa mau mengambil manfaat dari nasihat kematian dan Alquran, maka yang paling utama harus dilakukan adalah mencari sebabnya disertai pengakuan yang tulus. Hal itu merupakan sesuatu yang menakjubkan. Aku terus-menerus mencari hingga aku menemukan sebabnya. Ternyata aku terlalu tenang. Oleh karena itu berhati-hatilah darinya. Itulah penyakit kronis dan sebab utama yang membuat manusia tertipu dan lupa.Yaitu, keyakinan bahwa maut masih lama. Seandainya ada orang jujur yang memberikan kabar pada seseorang di siang hari bahwa ia akan mati pada malam nanti atau ia akan mati seminggu atau sebulan lagi, niscaya ia akan istikamah berada di jalan yang lurus dan pastilah ia meninggalkan segala sesuatu yang ia anggap akan menipunya dan tidak mengarah pada Allah SWT.  Jelaslah bahwa siapa yang memasuki waktu pagi sedang ia berharap bisa mendapati waktu sore, atau sebaliknya siapa yang berada di waktu sore lalu berharap bisa mendapati waktu pagi, maka sebenarnya ia lemah dan menunda-nunda amalnya. Ia hanya bisa berjalan dengan tidak berdaya. Karena itu, aku nasihati orang itu dan diriku juga dengan nasihat yang diberikan Rasullah saw ketika beliau bersabda,”Salatlah seperti salatnya orang yang akan berpisah (dengan dunia).” Beliau telah diberi kemampuan berbicara dengan ucapan yang singkat, padat, dan tegas. Itulah nasihat yang berguna.  Siapa yang menyadari dalam setiap salatnya bahwa salat yang ia kerjakan merupakan salat terakhir, maka hatinya akan khusyuk dan dengan mudah ia bisa mempersiapkan diri sesudahnya. Tapi, siapa yang tak bisa melakukan hal itu, ia senantiasa akan lalai, tertipu, dan selalu menunda-nunda hingga kematian tiba. Hingga, pada akhirnya ia menyesal karena waktu telah tiada.  Aku harap ia memohonkan kepada Allah agar aku diberi kedudukan tersebut karena aku ingin meraihnyg tapi tak mampu. Aku juga mewasiatkan padanya agar hanya rida dengannya dan berhati-hati terhadap berbagai tipuan yang ada. Tipuan jiwa hanya bisa diketahui oleh mereka yang cendekia.

 Akidah Seorang Mukmin

Kemudian, seorang mukalaf minimal harus meyakini tafsiran dari kata-kata “tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.” Jika ia membenarkan Rasul saw., maka ia juga harus membenarkan beliau dalam hal sifat-sifat Allah Swt. Dia Zat Yang Maha hidup, Berkuasa, Mengetahui, Berbicara, dan Berkehendak Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Namun, ia tak harus meneliti hakikat sifat-sifat Allah tersebut serta tak harus mengetahui apakah kalam dan ilmu Allah bersifat qadim atau baru. Bahkan, tak jadi masalah walaupun hal RI tak pernah terlintas dalam benaknya sampai ia matt da lam keadaan mukmin. Ia tak wajib mempelajari dalil dalil yang dikemukakan oleh para ahli kalam. Selama hatinya meyakini al-Haq, walaupun dengan iman yang tak disertai dalil dan argumen, ia sudah merupakan mukmin. Rasulullah saw. tidak membebani lebih dari itu.  Begitulah keyakinan global yang dimiliki oleh bangsa Arab dan masyarakat awam, kecuali mereka yan berada di negeri-negeri dimana masalah-masalah tentang qadim dan barunya kalam Allah, serta istiwa dan nuzul Allah, ramai diperdebatkan. Jika hatinya tak terlibat dengan hal itu dan hanya sibuk dengan ibadah dan amal salehnya, maka tak ada beban apa pun baginya. Namun, jika ia juga memikirkan hal itu, maka minimal ia harus mengakui keyakinan orang-orang salaf yang mengatakan bahwa Alquran itu qadim, bahwa Alquran adalah kalam Allah, bukan makhluk, bahwa istiwa Allah adalah benar, bahwa menanyakan tentangnya adalah bidah, dan bahwa bagaimana cara istiwa itu tidak diketahui. Ia cukup beriman dengan apa yang dikatakan syariat secara global tanpa mencari-cari hakikat dan caranya. Jika hal itu masih tidak berguna juga, dimana hatinya masih bimbang dan ragu, jika memungkinkan, hendaknya keraguan tersebut dihilangkan dengan penjelasan yang mudah dipahami walaupun tidak kuat dan tidak memuaskan bagi para ahli kalam. Itu sudah cukup dan tak perlu pembuktian dalil. Namun, lebih baik lagi kalau kerisauannya itu bisa dihilangkan dengan dalil yang sebenarnya. Sebab, dalil tidak sempurna kecuali dengan memahami pertanyaan dan jawabannya. Bila sesuatu yang samar itu disebutkan, hatinya akan ingkar dan pemahamannya tak mampu menangkap jawabannya. Sebab, sementara kesamaran tersebut tampak jelas, jawabannya pelik dan membingungkan sehingga sukar dipahami akal. Oleh karena itu, orang-orang salaf tak mau mengkaji dan membahas masalah ilmu kalam. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan masyarakat awam yang lemah.  Adapun orang-orang yang sibuk memahami berbagai hakikat, mereka memiliki telaga yang sangat membingungkan. Tidak membicarakan masalah ilmu kalam kepada orang awam adalah seperti melarang anak kecil mendekati pinggir sungai karena takut tenggelam. Sedangkan orang-orang tertentu diperbolehkan karena mereka mahir dalam berenang. Hanya saja, ini merupakan tempat yang bisa membuat orang lupa diri dan membuat kaki tergelincir, dimana, orang yang akalnya lemah merasa akalnya sempurna. Ia mengira dirinya bisa mengetahui segala sesuatu dan dirinya termasuk orang hebat. Bisa jadi, mereka berenang dan tenggelam dalam lautan tanpa ia sadari. Hanya segelintir orang saja dari mereka yang menempuh jalan para salaf dalam mengimani para rasul serta dalam membenarkan apa yang diturunkan Allah Swt. dan apa yang diberitakan Rasul-Nya dimana mereka tak mencari-cari dalil dan argumen. Melainkan, mereka sibuk dengan ketakwaan.  Demikianlah, ketika Nabi saw. melihat para sahabatnya sibuk berdebat, beliau marah hingga memerah kedua pipi beliau dan berkata, “Apakah kalian diperintahkan untuk ini. Kalian mengumpamakan sebagian isi Kitabullah dengan yang lain. Perhatikan! apa yang Allah perintahkan pada kalian kerjakanlah, sedangkan yang dilarang kalian tinggalkan.” Ini merupakan peringatan terhadap manhaj yang benar. Lengkapnya, hal itu kami jelaskan dalam kitab Qawa’id al-Aqaa’id

  A. Bagian Pertama: Amal-amal Ketaatan

Ketahuilah bahwa perintah Allah ada yang wajib dan ada yang sunah. Yang wajib merupakan harta pokok. Dia adalah modal perdagangan yang dengannya kita bisa selamat. Sementara yang sunah merupakan laba yang dengannya kita bisa meraih derajat mulia.  Nabi saw. bersabda, “Allah Swt. berfirman, ‘Tidaklah orang-orang mendekatkan diri pada-Ku dengan melaksanakan apa yang Kuwajibkan pada mereka, dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri padaku dengan amal-amal sunah, sehingga Aku mencintainya. Jika Aku sudah mencintainya, maka Aku menjadi telinganya yang mendengar, matanya yang melihat, lidahnya yang berbicara, tangannya yang memegang, dan kakinya yang berjalan.”  Engkau tidak akan dapat menegakkan perintah Allah, kecuali dengan senantiasa mengawasi hati dan anggota badanmu pada setiap waktu dan pada setiap tarikan nafasmu, dari pagi hingga sore. Ketahuilah bahwa Allah Swt. menangkap isi hatimu, mengawasi lahir dan batinmu, mengetahui semua lintasan pikiranmu, langkah-langkahmu, serta diam dan gerakmu. Saat bergaul dan menyendiri, engkau sedang berada di hadapan-Nya. Tidak ada yang diam, dan tak ada yang bergerak, melainkan semuanya diketahui oleh Penguasa langit, Allah Swt.  “Dia mengetahui khianatnya mata dan apa yang disembunyikan hati” (Q.S. Ghafir: 19), “Dia Maha Mengetahui yang rahasia dan tersembunyi” (Q.S. Thaha: 7).  Oleh karena itu, hendaklah engkau beradab di hadapan Allah Swt. dengan adab seorang hamba yang hina dan berdosa di hadapan-Nya. Berusahalah agar Allah tidak melihatmu sedang melakukan sesuatu yang dilarang dan tidak melaksanakan apa-apa yang diperintah. Hal itu hanya bisa terwujud jika engkau bisa membagi waktu dan mengatur wirid-wiridmu dari pagi hingga petang. Jagalah perintah Allah Swt. yang diwajibkan kepadamu, sejak dari bangun tidur hingga engkau kembali ke pembaringan.

01. Adab Tidur

Jika engkau ingin tidur, hamparkan tempat tidurmu dengan menghadap kiblat. Lalu tidurlah diatas sisi kananmu seperti tidurnya mayit di liang kuburnya. Ketahuilah bahwa tidur adalah bagaikan kematian dan terjaga adalah bagaikan bangkit. Bisa jadi, Allah menggenggam rohmu di malam itu. Maka dari itu, bersiap-siaplah untuk menghadapinya dengan tidur dalam keadaan suci dan usahakan agar wasiatmu telah tertulis di bawah kepalamu. Engkau tidur seraya bertobat dan meminta ampunan dari semua dosa dengan tekad tidak akan berbuat maksiat lagi. Bertekadlah untuk berbuat baik kepada semua muslim jika Allah membangunkanmu. Ingatlah bahwa engkau akan berbaring di liang kubur seperti itu seorang diri, hanya ditemani oleh amalmu. Engkau hanya akan dibalas sesuai dengan amal perbuatanmu itu.  Jangan sampai engkau menghendaki tidur yang banyak dengan menghampar kasur empuk karena tidur adalah menghentikan kehidupan. Kecuali, jika bangunmu justru menjadi bencana bagimu sehingga tidur tersebut lebih membuat agamamu selamat. Ketahuilah bahwa malam dan siang seluruhnya berjumlah dua puluh empat jam. Jangan sampai tidurmu sepanjang siang dan malam lebih dari delapan jam. Karena, jika engkau berumur sekitar enam puluh tahun cukup bagimu membuang dua puluh tahun darinya, atau sepertiga dari umurmu itu.  Ketika tidur, kembalilah bersiwak dan bersuci. Bertekadlah untuk bangun malam atau bangun sebelum subuh. Dua rakaat di tengah malam merupakan salah satu harta kekayaan yang berharga mulia. Perbanyaklah harta kekayaanmu itu guna menghadapi hari miskinmu. Sebab, harta kekayaan dunia sama sekali tak akan berguna jika engkau binasa.  Ketika tidur, ucapkanlah:  Bismika rabbii wadha’tu janbii wabismika arofa’uhu faghfirlii dzanbii. Allahumma bismika ahya wa amuut wa a’udzubika allahumma min-syarri kulli dzii syarri. Wa min syarri kullidabbatin anta akhidzdzi binashiyatiha, inni rabbi ’alaa shirath mustaqiim. Allahumma antal wali falaiisa qablaka syai’in, wa antal akhirufalaisa ba’da katsi’in Wa antazhzhihiru falaisa fauqaka syai’in Wa antal bathinu falaisa duunaka syai’in Iqdhii ‘anniid dunya wa aghninii minal faqri. Allahumma antalkhalaqta nafsii wa anta tatawwafaha, laka mamatuha wa mahyaha, in amattaha faghfirlaha wa in ahyaitaha fahfazhha bimatahfazhu bihi ‘ibadakash shalihiin. Allahumma inni as ‘alukal ‘afwa wal ‘afiyata fiiddiin waddunya wal aakhirati. Allahummaaiqithnii fii ahabiissa ‘ati ilaika was ta’malnii bi ahabbil ‘amal ilaika hatta tuqarribanii ilaika zulfa wa tub ‘idanii ‘an sakhathika ba’da an as alakafatu’thiinii wa astaghfiraka fataghfirulii wa ad’uuka fatastajiibulii.  “Dengan nama-Mu wahai Tuhanku, kuletakkan punggungku dan dengan nama-Mu pula kuangkat serta ampunilah dosa-dosaku. Ya Allah, lindungi aku dari siksaMu pada hari para hamba-Mu dibangkitkan. Ya Allah, dengan nama-Mu aku hidup dan mati. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan segala sesuatu yang memiliki keburukan serta dari kejahatan setiap yang melata. Engkaulah yang menggenggam ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku berada di jalan yang lurus. Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Pertama yang tidak didahului oleh sesuatu dan Engkau pula Yang Maha Terakhir yang tak ada sesuatu sesudah-Mu. Engkau Mahatampak, tak ada sesuatu di atas-Mu. Engkau Maha Tersembunyi, tak ada sesuatu di bawah-Mu. Bayarkanlah hutangku dan angkatlah aku dari kemiskinan. Ya Allah, Engkau yang menciptakan diriku dan engkau pula yang mewafatkannya. Kematian dan kehidupannya ada pada kekuasaanMu. Jika engkau matikan diriku ini, maka ampunilah dia, dan jika engkau hidupkan, maka jagalah dia sebagaimana engkau menjaga para hamba-Mu yang saleh. Ya Allah aku meminta pada-Mu pengampunan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, bangunkan aku dalam waktu terbaik menurutmu. Buatlah aku melakukan perbuatan-perbuatan yang paling Kau senangi sehingga hal itu akan mendekatkan diriku pada-Mu dan menjauhkannya dari murka-Mu setelah aku meminta pada-Mu. Setelah aku meminta pada-Mu, maka Engkau memberikannya, aku meminta ampunan pada-Mu maka Kau terima, dan aku berdoa pada-Mu maka Kau kabulkan untukku.”  Kemudian bacalah ayat al-Kursi dan amana ar-rasalu (surat al-Baqarah: 285) sampai akhir surat. Lalu surat al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas, serta al-Mulk. Usahakan engkau tidur dalam keadaan berzikir pada Allah SWT. dan dalam keadaan suci karena siapa yang melakukan itu, ia akan naik berserta rohnya ke arasy, dan dicatat sebagai orang yang sedang salat sampai bangun kernbali. Apabila engkau sudah bangun, lakukanlah apa yang telah kujelaskan sebelumnya padamu. Hendaklah engkau hidup teratur seperti itu dalam sisa umurmu. Apabila engkau tak bisa melakukannya secara konsisten, sabarlah sebagaimana sabarnya orang sakit ketika menahan pahitnya obat dan ketika menunggu saat kesem-buhan. Renungkanlah umurmu yang berusia pendek. Jika engkau hidup seratus tahun misalnya, maka usia tersebut sangat pendek jika dibandingkan dengan lama-mu tinggal di negeri akhirat karena ia merupakan negeri keabadian. Perhatikan bahwa jika engkau bisa bersabar menghadapi beban penderitaan dan kehinaan dalam mencari kehidupan dunia selama sebulan atau setahun karena berharap bisa beristirahat sesudahnya selama dua puluh tahun misalnya, lalu bagaimana engkau tak mau bersabar selama beberapa hari untuk ibadah guna mengharap kehidupan abadi? Jangan perpanjang angan-anganmu, karena hal itu akan memberatkanmu dalam beramal. Perhitungkanlah dekatnya kematianmu lalu katakan pada dirimu: Jika aku bisa bersabar menghadapi penderitaan hari ini barangkali aku mati malam nanti, dan aku akan bersabar pada malamnya karena barangkali aku mati esok hari. Sesungguhnya kematian tidak hanya datang pada saat tertentu, kondisi tertentu, atau pada usia tertentu. Yang jelas, ia pasti datang dan harus siap dihadapi. Bersiap-siap menghadapi kematian lebih utama ketimbang bersiap-siap menghadapi dunia. Engkau tahu bahwa dirimu tidak akan lama tinggal di dalam dunia. Oleh karena itu, yang tersisa dari hidupmu barangkali hanya tinggal satu hari atau satu tarikan nafas. Tanamkan hal ini dalam hatimu setiap hari. Paksakan dirimu untuk bersabar dalam taat kepada Allah SWT. hari demi hari. Jika engkau memperhitungkan akan hidup selama lima puluh tahun, maka engkau akan sulit untuk bisa bersabar dalam menaati Allah SWT.  Manakala engkau bisa bersabar selalu setiap hari, ketika meninggal engkau akan mendapati kebahagiaan yang tak ada habis-habisnya. Sementara jika engkau menunda-nunda dan meremehkan, kematian itu akan mendatangimu pada waktu yang tak kau duga sehingga engkau akan menyesal dengan penyesalan yang tak berujung. Ketika pagi, sekelompok makhluk mulia bertahmid dan ketika mati, datang berita yang benar itu kepadamu, “Setelah beberapa waktu, engkau akan mengetahui kebenaran berita Alquran tersebut” (Q.S. Shaad: 88).  Jika sebelumnya kami sudah menunjukkan urutan wirid padamu, kami akan sebutkan di sini bagaimana cara dan adab-adab melaksanakan salat dan puasa serta bagaimana adab menjadi imam dan panutan, juga bagaimana melaksanakan salat jumat.

 02. Adab Shalat

 Apabila engkau telah selesai membersihkan kotoran dan najis yang terdapat di badan, pakaian, dan tempat salat, juga engkau telah menutup aurat dari pusar sam­pai dengkul, maka berdirilah menghadap ke arah kiblat dengan kaki yang lurus tapi tidak dirapatkan sedang­kan engkau berada dalam posisi tegak. Lalu bacalah surat an-Naas guna berlindung dari setan yang terku­tuk. Hadirkan hatimu ketika itu. Buanglah segala bisik­an dan rasa was-was. Perhatikan kepada siapa engkau sedang menghadap dan bermunajat sekarang. Hendak­nya engkau malu untuk bermunajat kepada Tuhan de­ngan hati yang lalai dan dada yang penuh dengan bi­sikan dunia beserta kebejatan syahwat. Sadarlah bahwa Allah Swt. mengetahui semua yang tersembunyi di da­lam dirimu dan melihat hatimu. Allah hanya menerima salatmu sesuai dengan kadar kekhusyukan, ketundukan, dan ketawaduanmu.  Sembahlah Allah dalam salatmu seakan-akan engkau melihat-Nya. Apabila engkau tak melihat-Nya, sesung­guhnya Dia melihatmu. Jika hatimu tidak hadir dan ang­gota badanmu tidak bisa tenang maka hal itu disebab­kan engkau tidak betul-betul mengenal keagungan-Nya. Bayangkan jika ada seorang saleh di antara keluargamu yang melihatmu ketika engkau salat. Pada saat itu, pasti hatimu akan khusyuk dan anggota badanmu akan te­nang. Lalu, tanyakan pada dirimu, “Wahai jiwa yang buruk, tidakkah engkau malu kepada Pencipta dan Tu­anmu?” Apabila engkau mampu salat secara khusyuk dan tenang karena dilihat seorang hamba yang hina, yang tak bisa memberikan manfaat atau bahaya pada­mu, sedang engkau mengetahui bahwa Dia melihatmu tapi engkau tak takut pada keagungan-Nya, apakah Allah SWT. lebih rendah dibandingkan hamba-Nya itu? Betapa durhaka dan bodohnya engkau! Betapa engkau memusuhi dirimu itu!  Obatilah hatimu dengan cara itu, barangkali ia akan menjadi hadir dalam salatmu. Salatmu hanyalah saat engkau sadar kepadanya. Adapun salat yang engkau kerjakan dengan hati yang lalai dan lupa, maka ia butuh pada istigfar dan perenungan.  Manakala hatimu sudah hadir, jangan lupa meng­ucapkan ikamah kalau engkau salat sendirian. Tapi, jika engkau menunggu datangnya jamaah yang lain hendak­nya engkau melakukan azan lalu ikamah. Apabila eng­kau sudah mengucapkan ikamah, berniatlah dan bacalah dalam hatimu, “Aku laksanakan salat lohor karena Allah Swt.” Usahakan niat tersebut hadir dalam hatimu ketika engkau bertakbir. Jangan sampai niatmu tak kau sadari sebelum takbir selesai. Angkatlah tanganmu saat bertakbir ke arah pipi dan pundakmu dengan jari-jari yang tidak dihimpitkan. Jangan terlalu menempel atau­pun menjauh. Yang penting ibu jarimu berada di hadapan kedua cuping telingamu, ujung-ujung jarimu berada di atas kuping, serta telapak tangan di atas pundak. Jika kedua telapak tanganmu sudah berada pada posisi ter­wbut bertakbirlah lalu turunkan kembali dengan perla­han. Saat diangkat atau diturunkan, jangan kau hentak­kan tanganmu ke depart secara keras dan jangan pula diangkat sampai ke belakang. Selain itu, jangan kau gerakkan ia ke kanan atau ke kiri. Ketika diturunkan, mulailah engkau meletakkan tanganmu di atas dada. Iangan kanan berada di atas yang kiri. Renggangkan lari-jari kananmu di lengan tangan yang kiri. Genggam di atas siku. Setelah bertakbir bacalah: Allahu akbar kabiiran walhamduilllah katsiiran wa subhanalla bukrattan wa ashiilla, inni wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas samawati wal ardha haniifan musliman wa ma ana minal musyrikin. Inni shalatii wa nusukii wa mahyaya wamamatii lillahi rabbil ‘alamiin laa syarikallahuwa bi dzalika umirtu wa ana minal muslimiin. “Allah Mahabesar dengan segala sifat kebesaran-Nya. Pujian bagi Allah sebanyak-banyaknya dan Mahasuci Allah pada tiap pagi dan sore. Aku hadapkan wajahku pada Tuhan yang mencipta langit dan bumi dengan lu­rus dan aku bukan dari golongan yang musyrik. Se­sungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semata-mata karena Tuhan seru sekalian alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintah dan aku ter­masuk dari golongan Islam (menyerah dan patuh).”  Setelah itu, bacalah al-Fatihah dengan tekanan yang kuat. Usahakan untuk membedakan antara huruf dhad dan zha’ dalam bacaan salatmu. Lalu ucapkan amin se­cara terpisah dengan kata walaad-dhaliin.  Nyaringkan bacaanmu pada salat subuh, magrib, dan isya. Maksudnya, pada dua rakaat yang pertama, ke­cuali jika engkau menjadi makmum. Jika menjadi mak­mum, nyaringkan bacaanamin. Lantas, dalam salat subuh, bacalah salah satu surat yang panjang setelah bacaan surat al-Fatihah. Sementara pada waktu magrib, cukup surat yang pendek. Adapun pada salat lohor, asar, dan isya, bacalah surat yang pertengahan. Misalnya su­rat al-Buruj dan yang semisalnya. Ketika salat subuh yang dilaksanakan dalam perjalanan, bacalah surat al­-Kafirun dan surat al-Ikhlas. Jangan engkau sambungkan akhir bacaan surat dengan takbir untuk rukuk, tapi pi­sahkan antara keduanya dengan seukuran bacaan subhanallah.  Ketika berdiri, usahakan untuk senantiasa menunduk dengan hanya memandang tempat salatmu. Hal itu, akan membuatmu lebih berkonsentrasi dan membuat hatimu lebih khusyuk. Jangan engkau menoleh ke kiri atau ke kanan pada saat sedang salat.  Lalu bertakbirlah untuk rukuk. Angkat tanganmu dengan cara yang sudah dijelaskan sebelumnya. Pan­jangkan bacaan takbir sampai engkau berada pada po­sisi rukuk. Lalu, letakkan telapak tanganmu di atas lu­tut sementara jari-jemarimu berada pada posisi yang renggang. Tegakkan lututmu serta bentangkan pung­gung, leher, dan kepalamu secara lurus. Lantas, jauhkan sikumu dari pinggang. Sementara untuk wanita tidak demikian karena mereka hendaknya menempelkan yang satu dengan yang lain. Lalu ucapkan: Subhana rabbiyal ‘azhiim “Mahasuci Tuhanku Yang Mahaagung.”  Bacaan tersebut diucapkan sebanyak tiga kali. Jika engkau salat sendirian, bagus pula kalau ditambah sam­pai menjadi tujuh atau sepuluh kali. Kemudian angkat kepalamu sampai berdiri tegak seraya mengangkat ta­ngan dan membaca: Sami ‘allahu liman hamidah “Allah mendengar siapa yang memuji-Nya.” Apabila engkau telah berdiri tegak lurus, ucapkan: Rabbana lakal hamdu mil’as samawati wa mil ardhi wa mil ama syi’ta min syai’in ba’du “Wahai Tuhan kami, segala puji bagi-Mu sepenul langit dan bumi dan sepenuh apa yang Kau kehendak sesudah itu.” Apabila engkau sedang dalam melakukan salat subuh, bacalah doa qunut pada rakaat kedua ketika dalan posisi iktidal. Lalu, sujudlah dengan bertakbir tanpa mengangkat kedua tangan. Pertama-tama, letakkanlal kedua lututmu diikuti kemudian oleh kedua tanganmi lalu dahimu yang berada dalam keadaan terbuka. Letakkan hidung beserta dahimu. jauhkan sikumu dari pinggang dan angkat perutmu dari paha (Hal ini tidak berlaku bagi wanita). Letakkan kedua tanganmu di atas tanah sejajar dengan pundakmu. Jangan kau bentangkan lenganmu di atas tanah. Dan ucapkan: Subhana rabbiyal ‘alaa “Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi”  Doa di atas dibaca sebanyak tiga kali, tujuh kali, atau sepuluh kali jika engkau salat sendirian. Lalu, angkat kepalamu dari sujud seraya bertakbir sampai engkau duduk dengan tegak. Duduklah di atas kaki kiri. Tegakkan kaki kananmu. Letakkan kedua ta­nganmu di atas paha dengan jari-jemari yang renggang. Lantas ucapkan (minimal): ‘rabbighfirlii warhamnii warzuqni wajburnii wa ‘afinii wa ‘afuanii “Ya Tuhan, ampunilah aku, sayangilah aku, berikar rezeki padaku, pimpinlah aku, tambahkan kekurang­anku, dan maafkanlah daku.”  Kemudian lakukan sujud yang kedua sama seperti sebelumnya. Lalu duduk tegak sebentar untuk istirahat pada setiap rakaat yang tak disertai tasyahud.  Setelah itu, engkau berdiri dan meletakkan kedua tangan di atas tanah. Jangan engkau mendahulukan sa­lah satu kakimu ketika berdiri. Mulailah dengan takbir untuk berdiri saat hampir selesai dari duduk istirahat. Panjangkan bacaan takbir tersebut sampai pada posisi setengah berdiri. Usahakan agar duduk istirahat tersebut berlangsung sebentar. Lalu, laksanakan rakaat ke­dua seperti rakaat pertama. Ulangi membaca taawud ketika memulai. Lalu duduklah pada rakaat kedua un­tuk membaca tasyahud pertama. Saat duduk tasyahud, letakkan tangan kananmu di atas paha kanan dengan jari yang tergenggam kecuali jari telunjuk dan ibu jari. Berilah isyarat dengan jari telunjukmu yang kanan saat membaca illallah(kecuali Allah), bukan pada kata-kata Iaa ilaha (tiada Tuhan). Sementara itu, engkau letakkan tangan kirimu dengan jari jari terbuka di atas paha kiri. Duduklah di atas kaki kiri dalam tasyahud pertama ini seperti ketika duduk antara dua sujud. Adapun pada tasyahud akhir, duduklah secara tawaruk (di atas pang­kal paha). Setelah mengucapkan salawat atas Nabi Saw., bacalah doa yang sudah dikenal. Duduklah di atas pang­kal paha yang kiri sementara kaki kirimu keluar dari sisi bawah. Tegakkan posisi kaki kananmu lalu ucapkan salam dua kali dari ke kanan dan kiri. Menolehlah hing­ga tampak putihnya kedua pipimu dari kedua sisi. Ber­niatlah untuk menyudahi salat dan arahkan salammu pada para malaikat dan kaum muslim yang berada di sampingmu. Begitulah gerakan salat sendirian.  Tiang penopang salat adalah kekhusyukan dan ke­hadiran hati disertai bacaan, dan pemahaman. Ha­san al-Basri rahimahullah berkata, “Setiap salat yang tidak disertai oleh kehadiran hati akan cepat terkena hukum­an.” Rasul Saw. bersabda, “Seorang hamba adakalanya melakukan salat tapi ia tidak mendapat seperenam atau sepersepuluh dari salatnya. Karena, ganjaran salat bagi seorang hamba sesuai dengan kadar kekhusyu’kannya.”

 03. Adab Menjadi Imam

  Seorang imam hendaknya meringankan salat. Anas bin Malik r.a. berkata, “Aku tidak melakukan salat di belakang seorang pun yang lebih ringan dan lebih sem­purna salatnya dari pada salat Rasulullah Saw.”  Seorang imam hendaknya tidak bertakbir sebelum muazin membacakan iqamah dan sebelum shaf salat lu­rus sempurna. Ia harus meninggikan suara ketika ber­takbir, sementara makmum tidak meninggikan suara kecuali sebatas yang bisa ia dengar sendiri. Imam harus berniat menjadi imam guna memperoleh keutamaan. Ji­ka sang imam tak berniat, salat para jamaah tetap sah apabila mereka telah berniat mengikutinya. Mereka ju­ga memperoleh pahala bermakmum. Imam tidak boleh menyaringkan bacaan iftitah dan ta’awudz sebagaimana dalam salat sendirian. Tapi ia menyaringkan bacaan al­-Fatihah dan surat sesudahnya dalam salat-salat subuh, serta dalam dua rakaat pertama magrib dan isya. Dalam salat jahar (yang dibaca secara keras), makmum menya­ringkan ucapan amin dengan bersama-sama imam, bu­kan sesudah imam. Lalu, imam diam sejenak setelah membaca surat al-Fatihah. Di saat itulah makmum membaca surat al-Fatihah agar sesudahnya ia bisa men­dengarkan bacaan imam. Pada salat jahar, makmum ti­dak membaca surat kecuali jika ia tidak mendengar su­ara imam. Hendaknya seorang imam tidak membaca tasbih dalam rukuk dan sujud lebih dari tiga kali dan juga tidak memberikan tambahan dalam tasyahud awal setelah membaca salawat kepada Nabi. Pada dua rakaat terakhir, imam cukup membaca surat al-Fatihah, tidak usah menambah-nambahnya lagi. Juga ketika tasyahud akhir imam cukup membaca tasyahud dan salawat ke­pada Rasulullah Saw. Ketika bersalam, imam hendaknya berniat memberikan salam kepada semua jamaah se­dangkan jamaah atau makmum dengan salamnya berniat menjawab salam imam. Setelah itu imam berdiam se­bentar dan menghadap kepada para jamaah. Jika yang ada di belakangnya adalah para wanita, maka ia tidak usah menoleh sampai mereka bubar. Hendaknya mak­mum tidak berdiri sampai imam berdiri, lalu imam per­gi entah ke arah kanan atau tapi lebih baik ke arah kanan.  Imam tidak boleh berdoa untuk dirinya sendiri da­lam membaca qunut subuh tapi hendaknya ia meng­ucapkan Allahumma ihdina (Ya Allah, tunjukkan kami) dengan suara nyaring, sedangkan para makmum mengamininya tanpa mengangkat tangan mereka ka­rena hal itu tak terdapat dalam riwayat. Selebihnya makmum membaca sendiri sisa dari doa qunut tersebut, yakni dimulai dari Innaka la yaqdhi wa la yuqdha ‘alaika. Makmum tidak boleh berdiri sendirian secara terpisah, Ia harus masuk ke dalam barisan atau menarik orang lain untuk membuat barisan dengannya. Makmum tak boleh berdiri di depan iman, mendahului, atau bergerak secara bersamaan dengan gerakan imam. Tapi, Ia harus melakukannya sesudah imam. Ia tak boleh ru­kuk kecuali setelah imam sempurna dalam posisi rukuk. Begitu pun, ia tak boleh sujud selama dahi imam belum sampai di tanah.

04. Adab Salat Jum’at

Ketahuilah bahwa Jum’at merupakan hari raya bagi orang-orang yang beriman. Ia merupakan hari mulia yang khusus diperuntukkan Allah bagi umat ini. Di da­lamnya ada saat-saat penting yang apabila seorang muk­min meminta kebutuhannya kepada Allah SWT, pasti Allah akan mengabulkan. Oleh karena itu, persiapkan­lah dirimu untuk menghadapi hari raya tersebut semen­jak hari Kamis dengan cara membersihkan pakaian dan banyak bertasbih dan istigfar pada Kamis petang (sore)-nya, karena keutamaan saat itu sama dengan keutamaan hari Jumat. Berniatlah untuk berpuasa untuk hari Jumat. Te­tapi harus dengan hari Kamis atau hari Sabtu, tidak boleh dikerjakan pada hari Jumat saja.  Jika subuh telah tiba, mandilah dengan niat mandi Jumat karena mandi pada hari Jumat hukumnya sunah muakkad. Kemudian berhiaslah dengan memakai pakai­an putih karena itulah pakaian yang paling dicintai Allah Swt, lalu pakailah parfum yang paling wangi yang ka­mu miliki, dan bersihkan badanmu dengan bercukur rambut, menggunting kuku, bersiwak, dan yang lainnya, kemudian segeralah bergegas menuju mesjid dan berjalanlah dengan perlahan dan tenang. Nabi Saw. ber­sabda, “Siapa yang pergi untuk salat Jumat di waktu yang pertama seakan-akan ia telah berkurban unta, si­apa yang pergi pada waktu kedua seakan-akan ia ber­kurban sapi betina, siapa yang pergi di waktu ketiga, seakan-akan ia berkurban kambing kibas, siapa yang pergi di waktu ke empat seakan-akan ia berkurban ayam, siapa yang pergi di waktu kelima seakan-akan ia ber­kurban telur. Jika imam sudah keluar atau naik mim­bar, maka lembaran-lembaran itu pun dilipat dan pena­-pena diangkat, sementara para malaikat berkumpul di mimbar untuk mendengarkan zikir / peringatan.”  Disebutkan bahwa kedekatan manusia dalam pan­dangan Allah SWT, bergantung pada cepatnya mereka menuju salat Jumat. Kemudian, apabila engkau berada di mesjid, usahakan untuk berada di shaf yang pertama. Jika manusia sudah banyak berkerumun, jangan mele­wati pundak mereka dan jangan pula lewat di hadapan mereka yang sedang salat. Duduklah dekat tembok agar mereka tidak lewat di depanmu. Sebelum itu lakukan­lah salat tahiyyatul masjid. Lebih baik lagi, kalau engkau salat sebanyak empat rakaat. Dalam setiap rakaat, sete­lah membaca surat al-Fatihah, engkau membaca surat al-­Ikhlas sebanyak lima puluh kali. Disebutkan dalam satu riwayat bahwa siapa yang melakukan amalan tersebut, ia tidak akan meninggal dunia sampai melihat tempat du­duknya di surga atau hal itu diperlihatkan padanya. Jangan sampai engkau meninggalkan salat tahiyyatul masjid walaupun imam sedang berkhotbah. Disunahkan agar dalam empat rakaat itu engkau membaca surat al-­An’am, surat al-Kahfi, surat Thaha, dan surat Yasin. Jika tidak mampu, engkau bisa membaca surat Yásin, surat ad-Dukhan’ , surat Alif Lam Mim, as-Sajadah, dan surat al-Mulk. Sebaiknya engkau membaca surat tersebut pa­da malam Jumat karena di dalamnya banyak sekali ke­utamaan. Siapa yang tak bisa, perbanyaklah membaca surat al-Ikhlas.  Perbanyaklah membaca salawat atas Rasulullah SAW. khususnya pada hari tersebut. Manakala imam atau khatib sudah naik mimbar, berhentilah dari salat dan berbicara. Sibukkan dirimu dengan menjawab panggilan azan serta dengan mendengarkan khotbah dan ceramah. Sama sekali tak boleh berbicara ketika khatib sedang berkhotbah. Dalam riwayat disebutkan, “Siapa yang ber­kata kepada temannya, `Diamlah” saat imam berkhot­bah maka ia telah berbuat sia-sia. Dan siapa yang ber­buat sia-sia, maka ia tak mendapat keutamaan Jumat.” itu karena perintah diam itu sendiri berbentuk ucapan. Sebaiknya larangan diberikan dalam bentuk isyarat, bu­kan dengan kata-kata.  Lalu ikutilah perbuatan imam seperti telah disebut­kan sebelumnya. Apabila telah selesai, 5sebelum berbi­cara bacalah surat al-Fatihah, surat al-Ikhlas, surat al‑Falaq dan surat an-Naas, masing-masing tujuh kali. Itu akan melindungimu dari Jumat ke Jumat, juga akan menjagamu dari setan. Setelah itu, bacalah: “Allahumma yaa ghaniyy yaa hamiid yaa Mubdii yaa mu’iid yaa rahiimi yaa waduud aghninii bihalalika ‘an haramika bi fadhlika ‘an ma’shiyatika wabifadhlika ‘amman siwaak.”  “Ya Allah wahai Zat Yang Mahakaya, Maha Terpuji, Maha Memulai, Maha Mengembalikan, Maha Penya­yang, dan Maha Pemberi. Berilah kecukupan padaku dengan yang halal bukan yang haram; dengan taat, bu­kan maksiat; dan dengan karunia-Mu, bukan selain-Mu.”  Setelah itu, lakukanlah salat dua rakaat atau enam rakaat yang dilakukan dengan dua-dua. Semua itu ter­dapat dalam riwayat yang berasal dari Rasulullah Saw. dalam kondisi yang berbeda-beda.  Kemudian menetaplah di mesjid sampai waktu maghrib atau asar. Hendaknya engkau selalu memperhatikan waktu yang mulia. Sebab, waktu mulia tersebut terdapat sepanjang hari itu, tapi tidak ditentukan secara pasti. Mudah-mudahan engkau memperolehnya ketika sedang berada dalam kondisi yang khusyuk dan tunduk kepa­da Allah SWT. Selama di mesjid, jangan engkau mende­kati majelis cerita dan kisah. Tapi, hendaknya engkau menghampiri majelis yang berisi ilmu yang bermanfaat. Majelis itulah yang bisa membuatmu lebih takut kepada Allah dan membuatmu kurang cinta pada dunia. Jika suatu ilmu tak mampu mengajakmu untuk meninggal­kan dunia menuju akhirat, maka lebih baik tak usah mengetahui ilmu tersebut. Berlindunglah kepada Allah dari ilmu yang tak bermanfaat.  Perbanyaklah berdoa ketika matahari terbit, tergelin­cir, dan terbenam, ketika khatib naik mimbar, dan ke­tika orang-orang berdiri untuk menunaikan salat, karena kemungkinan besar itulah waktu-waktu yang mulia.  Berusahalah untuk bersedekah semampumu pada hari tersebut walaupun sedikit. Dengan demikian, eng­kau telah mengumpulkan antara salat, puasa, sedekah, membaca Alquran, zikir, dan iktikaf. Jadikan hari ter­sebut sebagai waktu yang khusus kau peruntukkan bagi akhiratmu ; barangkali is menjadi penebus dosa bagi hari-hari lainnya dalam seminggu.

   B. Bagian Kedua: Menghindari Maksiat

  القسم الثاني القول في اجتناب المعاصى  توطئة  اعلم ان للدين شطرين، أحدهما: ترك المناهي، والآخر: فعل الطاعات.. وترك المناهي هو الأشد؛ فإن الطاعات يقدر عليها كل واحد، وترك الشهوات لا يقدر عليه إلا الصديقون،  فلذلك قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (المهاجر من هجر السوء، والمجاهد من جاهد هواه) . واعلم أنك إنما تعصي الله بجوارحك، وهي نعمة من الله عليك وأمانة لديك، فاستعانتك بنعمة الله على معصيته غاية الكفران، وخيانتك في أمانة استودعها الله غاية الطغيان؛ فأعضاؤك رعاياك، فانظر كيف ترعاها؛ فكلكم راع، وكلكم مسؤول عن رعيته. واعلم أن جميع أعضائك ستشهد عليك في عرصات القيامة بلسان طلق ذلق، تفضحك به على رؤوس الخلائق، قال الله تعالى: (يوم تشهد عليهم ألسنتهم وأيديهم وأرجلهم بما كانوا يعملون) ، وقال الله تعالى: (اليوم نختم على افواههم وتكلمنا أيديهم وتشهد أرجلهم بما كانوا يكسبون) . فاحفظ يا مسكين جميع بدنك من المعاصى، وخصوصا أعضاءك السبعة؛ فإن جهنم لها سبعة أبواب لكل باب منهم جزء مقسوم، ولا يتعين لتلك الابواب إلا من عصا الله تعالى بهذه الاعضاء السبعة، وهي: العين، والأذن، واللسان، والبطن، والفرج، واليد، والرجل.  آداب العين  أما العين: فإنما خلقت لك لتهتدي بها في الظلمات، وتستعين بها في الحاجات، وتنظر بها إلى عجائب ملكوت الأرض والسموات، وتعتبر بما فيها من الآيات؛ ن فاحفظها عن أربع: أن تنظر بها إلى غير محرم، أو إلى صورة مليحة ولا بشهوة نفس، أو تنظر بها إلى مسلم بعين الاحتقار، أو تطلع بها على عيب مسلم.  آداب الأذن  وأما الأذن: فاحفظها عن أن تصغي بها إلى البدعة، أو الغيبة، أو الفحش، أالخوض في الباطل، أو ذكر مساوىء الناس؛ فإنما خلقت لك لتسمع بها كلام الله تعالى، وسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، وحكمة أوليائه، وتتوصل باستفادة العلم بها إلى الملك المقيم والنعيم الدائم في جوار رب العالمين. فإذا أصغيت بها إلى شيء من المكاره صار ما كان لك عليك، وانقلب ما كان سبب فوزك سبب هلاكك، وهذا غية الخسران. ولا تظن أن الإصم يختص به القائل دون المستمع؛ ففي الخبر: (أن المستمع شريك القائل وهو أحد المغتابين) . آداب اللسان وأما اللسان: فإنما خلق لتكثر به ذكر الله تعالى وتلاوة كتابه، وترشدن به خلق الله تعالى إلى طريقه، وتظهر به ما في ضميرك من حاجات دينك ودنياك. فإذا استعملته في غير ما خلق له، فقد كفرت نعمة الله تعالى فيه، وهو أغلب أعضائك عليك وعلى سائر الخلق، ولا يكب الناس في النار على مناخرهم إلا حصائد ألسنتهم.  فاستظهر عليه بغاية قوتك حتى لا يكبك في قعر جهنم، ففي الخبر: (إن الرجل ليتكلم بالكلمة ليضحك بها أصحابه فيهوي بها في قعر جهنم سبعين خريفا) ، وروى أنه قتل شهيد في المعركة على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال قائل: ن هنيئا له الجنة، فقال: صلى الله عليه وسلم: (وما يدريك لعله كان يتكلم فيما لا يعنيه، ويبخل بما لا يغنيه)  Ketahuilah, bahwa agama Islam terdiri atas dua bagian: meninggalkan apa yang dilarang dan melakukan amal ketaatan. Meninggalkan apa yang dilarang jauh lebih sulit karena melakukan amal ketaatan dapat di­lakukan setiap orang, sedangkan meninggalkan syahwat hanya bisa diwujudkan oleh mereka yang tergolong shid­diqun. Oleh karena itu, Rasulullah SAW. bersabda, “Orang yang berhijrah adalah yang meninggalkan keburukan, sedangkan orang yang berjihad adalah yang berjuang melawan hawa nafsunya.” Ketahuilah bahwa ketika engkau bermaksiat sesungguhnya engkau melakukan maksiat tersebut dengan anggota badanmu padahal ia merupakan nikmat dan amanat Allah yang diberikan kepadamu. Mempergunakan nikmat Allah dalam rang­kat bermaksiat kepada-Nya adalah puncak kekufuran. Dan berkhianat terhadap amanat yang dititipkan Allah kepadamu betul-betul merupakan perbuatan yang me­lampaui batas. Anggota badanmu adalah rakyat atau gembalaanmu, maka perhatikan dengan baik bagaimana kamu menggembalakan mereka. Masing-masing kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung ja­wab atas yang dipimpinnya. Sadarlah bahwa semua anggota badanmu akan menjadi saksi atasmu pada hari kiamat dengan lidah yang fasih. Ia akan menyingkap rahasiamu di hadapan semua makhluk. Allah Swt. berfirman, “Pada hari dimana lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas perbuatan yang kalian lakukan” (Q.S. an-Nur: 24) Allah Swt berfirman, “Pada hari ini, Kami tutup mulut mereka sedangkan tangan mereka berbicara pada Kami dan kaki mereka menjadi saksi atas apa yang mereka kerjakan” (Q.S. Yasin: 65).  Oleh karena itu, peliharalah semua anggota badanmu dari maksiat, khususnya tujuh anggota badanmu karena neraka Jahannam memiliki tujuh pintu. Masing-masing mereka mempunyai bagian tersendiri. Yang masuk ke dalam pintu-pintu neraka Jahannam itu adalah mereka yang bermaksiat kepada Allah Swt. dengan tujuh anggota badan tersebut, yaitu mata, telinga, lidah, perut, kemaluan, tangan, dan kaki.

Adab Mata

Mata diciptakan agar bisa memberi petunjuk padamu di waktu gelap, agar bisa kau pergunakan pada saat diperlukan, agar dengannya engkau melihat semua keajaiban langit dan bumi, dan agar engkau bisa mengambil pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan-Nya. Maka dari itu, peliharalah matamu itu dari empat hal: melihat yang bukan mahram-nya, melihat gambar bagus dengar syahwat, melihat seorang muslim dengan pandangan meremehkan, serta melihat aib seorang muslim.

Adab Telinga

Adapun telinga, maka peliharalah ia agar tidak mendengar bidah, gibah, perkataan keji, takut pada kebatilan, atau kejelekan orang. Telinga tersebut diciptakan untukmu agar engkau bisa mendengar kalam Allah Swt, sunah Rasulullah Saw, dan kata hikmah para wali serta agar engkau bisa mempergunakannya untuk bisa menggapai surga yang penuh kenikmatan, kekal abadi di sisi Tuhan Penguasa alam semesta. Jika engkau mempergunakan telinga tersebut pada sesuatu yang dibenci ia akan menjadi beban atau musuh bagimu. Begitu pula ia akan berbalik arah dari yang seharusnya bisa mengantarkanmu menuju kesuksesan, menjadi mengantarkanmu menuju kehancuran. Ini benar-benar merupakan kerugian. Jangan engkau mengira bahwa dosanya hanya dibebankan kepada si pembicara, sedangkan si pende­ngar terbebas dari dosa. Karena, dalam riwayat disebut­kan, pendengar adalah sekutu bagi yang berbicara. Ia adalah salah satu pihak dari dua orang yang sedang bergibah (bergunjing).

Adab Lisan

Adapun lisan (mulut), maka ia diciptakan agar dengannya engkau bisa banyak berzikir kepada Allah Swt, mem­baca Kitab Suci-Nya, memberi petunjuk kepada makh­luk Allah lainnya, serta mengungkapkan kebutuhan agama dan duniamu yang tersimpan dalam hati. Apa­bila engkau mempergunakannya bukan pada tujuan yang telah digariskan berarti engkau telah kufur terhadap nik­mat Allah Swt. Lidah merupakan anggota badanmu yang paling dominan. Tidaklah manusia diceburkan ke dalam api neraka melainkan sebagai akibat dari apa yang di­lakukan oleh lidah. Maka peliharalah ia dengan semua kekuatan yang kau miliki agar ia tidak menjerumuskan­mu ke dalam dasar neraka. Sebuah riwayat menyebut­kan, “Sesungguhnya seseorang berbicara dengan satu kata yang dengannya ia ingin membuat teman-teman­uya tertawa, namun karena itu ia jatuh ke dasar neraka selama tujuh puluh musim.” Dalam riwayat lain dise­butkan bahwa ada seorang syahid yang terbunuh di da­lam peperangan pada masa Rasulullah Saw. Lalu sese­orang berkata, “Selamat baginya yang telah memperoleh surga!” Tapi Rasul Saw. kemudian bersabda, “Dari mana engkau tahu? Barangkali ia pernah mengatakan sesuatu yang tak berguna dan bakhil terhadap sesuatu yang takkan pernah mencukupinya.”

  Jaga Lisan dari Delapan Perkara

Maka, peliharalah lidah­mu dari delapan perkara:

Bohong 

Pertama: berdusta.
 Jagalah lidahmu agar jangan sam­pai berdusta baik dalam keadaan yang serius maupun bercanda. Jangan kau biasakan dirimu berdusta dalam canda karena hal itu akan mendorongmu untuk ber­dusta dalam hal yang bersifat serius. Berdusta termasuk induk dosa-dosa besar. Kemudian, jika engkau dikenal mempunyai sifat seperti itu (pendusta) maka orang tak akan percaya pada perkataanmu dan untuk selanjutnya engkau akan hina dan dipandang sebelah mata. Apabila engkau ingin mengetahui busuknya perkataan dusta yang ada pada dirimu, maka lihatlah perkataan dusta yang dilakukan orang lain serta bagaimana engkau membenci, meremehkan, dan tidak menyukainya. La­kukanlah hal semacam itu pada semua aib dirimu. Se­sungguhnya engkau tidak mengetahui aibmu lewat diri­mu sendiri tapi lewat orang lain. Apa yang kau benci dari orang lain, pasti juga orang lain membencinya dari­mu. Olehkarenanya, jangan kau biarkan hal itu ada pada
dirimu.

Ingkar Janji

  Kedua: menyalahi janji. Engkau tak boleh menjanji­kan sesuatu tapi kemudian tidak menepatinya. Hendak­nya engkau berbuat baik kepada manusia dalam bentuk tingkah laku, bukan dalam bentuk perkataan. Jika eng­kau terpaksa harus berjanji, jangan sampai kau ingkari janji tersebut, kecuali jika engkau betul-betul tak ber­daya atau ada halangan darurat. Sebab, menyalahi janji merupakan salah satu dari tanda-tanda nifak dan buruk­nya akhlak. Nabi Saw. bersabda, “Ada tiga hal, yang jika ada di antara kalian yang jatuh ke dalamnya maka ia termasuk munafik, walaupun ia puasa dan salat. Ya­itu, jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanat ia berkhianat.”

Ghibah (Gosip)  

Ketiga: gibah (menggunjing). Peliharalah lidahmu dari menggunjing orang. Dalam Islam, orang yang melaku­kan perbuatan tersebut lebih hebat daripada tiga puluh orang pezina. Begitulah yang terdapat dalam riwayat. Makna gibah adalah membicarakan seseorang dengan sesuatu yang ia benci jika ia mendengarnya. Jika hal itu engkau lakukan, maka engkau adalah orang yang telah melakukan gibah dan aniaya, walaupun engkau berkata benar. Hindarilah untuk menggunjing secara halus. Ya­itu, misalnya engkau nyatakan maksudmu secara tidak Iangsung dengan berkata, “Semoga Allah memperbaiki orang itu. Sungguh tindakannya sangat buruk padaku. Kita meminta kepada Allah agar Dia memperbaiki kita dan dia.” Di sini terkumpul dua hal yang buruk, yaitu gibah (karena dari pernyataanya kita bisa memahami hal itu) dan merasa bahwa diri sendiri bersih tidak ber­salah. Tapi, jika engkau benar-benar bermaksud men­doakannya, maka berdoalah secara rahasia jika engkau merasa berduka dengan perbuatannya. Dengan demi­kian, jelaslah bahwa engkau tak ingin membuka rahasia dan aibnya. Kalau engkau menampakkan dukamu ka­rena aibnya, berarti engkau sedang membuka aibnya. Cukuplah firman Allah Swt. ini menghalangimu dari gibah, “Jangan sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah seorang di antara kalian senang memakan daging saudaranya yang sudah mati. Pasti kalian tidak me­nyukainya” (Q.S. al-Hujurat: 12).  Allah mengibaratkanmu dengan pemakan bangkai manusia. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika engkau menghindari perbuatan tersebut. Jika engkau mau me­renung, engkau tak akan menggunjing sesama muslim. Lihatlah pada dirimu, apakah dirimu itu mempunyai aib, baik yang tampak secara lahiriah maupun yang ter­sembunyi? Apakah engkau sudah meninggalkan mak­siat, baik secara rahasia maupun terang-terangan? Jika engkau menyadari hal itu, ketahuilah bahwa ketidak­berdayaan seseorang untuk menghindari apa yang kau nisbatkan padanya sama seperti ketidakberdayaanmu. Sebagaimana engkau tidak suka jika kejelekanmu di­sebutkan, ia juga demikian. Apabila engkau mau me­nutupi aibnya, niscaya Allah akan menutupi aibmu. Ta­pi apabila engkau membuka aibnya, Allah akan jadikan lidah-lidah yang tajam mencabik-cabik kehormatanmu di dunia, lalu Allah akan membuka aibmu di akhirat di hadapan para makhluk-Nya pada hari kiamat. Apabila engkau melihat lahir dan batinmu lalu engkau tidak menemukan aib dan kekurangan, baik dari aspek aga­ma maupun dunia, maka ketahuilah bahwa ketidaktahuanmu terhadap aibmu itu merupakan kedunguan yang sangat buruk. Tak ada aib yang lebih hebat daripada kedunguan tersebut. Sebab, jika Allah menginginkan ke­baikan bagimu, niscaya Dia akan memperlihatkan aib-­aibmu. Tapi, apabila engkau melihat dirimu dengan pan­dangan rida, hal itu merupakan puncak kebodohan. Selanjutnya, jika sangkaanmu memang benar, bersyu­kurlah pada Allah Swt. Jangan malah engkau rusak de­ngan mencela dan menghancurkan kehormatan mereka. Sebab, hal itu merupakan aib yang paling besar.

Debat (Jidal wal Munaqasyah)  

Keempat: mendebat orang. Karena, dengan mendebat, kita telah menyakiti, menganggap bodoh, dan mencela orang yang kita debat. Selain itu, kita menjadi ber­bangga diri serta merasa lebih pandai dan berilmu. Ia juga menghancurkan kehidupan. Manakala engkau mendebat orang bodoh, ia akan menyakitimu. Sedang­kan manakala engkau mendebat orang pandai, ia akan membenci dan dengki padamu. Nabi Saw. bersabda, “Siapa yang meninggalkan perdebatan sedang ia dalam keadaan salah, maka Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di tepi surga. Dan siapa yang meninggal­kan perdebatan padahal dia dalam posisi yang benar Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di surga yang paling tinggi.”  Jangan sampai engkau tertipu oleh setan yang berkata padamu, “Tampakkan yang benar, jangan bersikap lemah!” Sebab, setan selalu akan menjerumuskan orang dungu kepada keburukan dalam bentuk kebaikan. Jangan sampai engkau menjadi bahan tertawaan setan sehingga dia mengejekmu. Menampakkan kebenaran kepada mereka yang mau menerimanya adalah suatu kebaikan. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan cara memberikan nasihat secara rahasia bukan dengan cara mendebat. Se­buah nasihat memiliki karakter dan bentuk tersendiri. Harus dilakukan dengan cara yang baik. Jika tidak, ia hanya akan mencemarkan aib orang. Sehingga kebu­kannya lebih banyak daripada kebaikan yang ditim­hulkannya. Orang yang sering bergaul dengan para fa­kih zaman ini memiliki karakter suka berdebat sehingga ia sulit diam. Sebab, para ulama su’ tersebut mengata­kan padanya bahwa berdebat merupakan sesuatu yang mulia dan mampu berdiskusi merupakan satu kebang­gaan. Oleh karena itu, hindarilah mereka sebagaimana engkau menghindar dari singa. Ketahuilah, perdebatan merupakan sebab datangnya murka Allah dan murka makhluk-Nya.

Menganggap Suci Diri Sendiri  

Kelima: mengklaim diri bersih dari dosa. Allah Swt. berfirman, “Jangan kalian merasa suci. Dia yang lebih me­ngetahui siapa yang bertakwa” (Q.S. an-Najm: 32). Seba­gian ahli hikmat ditanya, “Apa itu jujur yang buruk?” Mereka menjawab, “Seseorang yang memuji dirinya sendiri.” Janganlah engkau terbiasa demikian. Ketahui­lah bahwa hal itu akan mengurangi kehormatanmu di mata manusia dan mengakibatkan datangnya murka Allah Swt. Jika engkau ingin membuktikan bahwa membanggakan diri tak membuat manusia bertambah hormat padamu, lihatlah pada para kerabatmu manakala mereka membanggakan kemuliaan, kedudukan, dan har­ta mereka sendiri, bagaimana hatimu membenci mereka dan muak atas tabiat mereka. Lalu engkau mencela me­reka di belakang mereka. Jadi sadarlah bahwa mereka juga bersikap demikian ketika engkau mulai membang­gakan diri. Di dalam hatinya, mereka mencelamu dan hal itu akan mereka ungkapkan ketika mereka tidak ber­ada di hadapanmu.

Mencela Ciptaan Allah  

Keenam: mencela. Jangan sampai engkau mencela ciptaan Allah Swt, baik itu hewan, makanan, ataupun manusia. Janganlah engkau dengan mudah memastikan seseorang yang menghadap kiblat sebagai kafir, atau munafik. Karena, yang mengetahui semua rahasia hanyalah Allah Swt. Oleh karena itu, jangan mencampuri urusan antara hamba dan Allah Swt. Ketahuilah bahwa pada hari kiamat engkau tak akan ditanya, “Mengapa engkau tidak mencela si fulan? Mengapa engkau men­diamkannya?” Bahkan, walaupun engkau tidak mencela iblis sepanjang hidupmu dan engkau melupakannya, engkau tetap tak akan ditanya tentang hal itu serta tak akan dituntut karenanya pada hari kiamat. Tapi, jika engkau mencela salah satu makhluk Allah Swt. baru engkau akan dituntut. Jangan engkau mencerca sesuatu pun dari makhluk Allah Swt. Nabi Saw. sendiri sama sekali tidak pernah mencela makanan yang tidak enak. Jika beliau berselera dengan sesuatu, beliau memakan­nya. Jika tidak, beliau tinggalkan.

Mendoakan Buruk Orang Lain (Menyumpah)  

Ketujuh: mendoakan keburukan bagi orang lain. Pe­liharalah lidahmu untuk tidak mendoakan keburukan bagi suatu makhluk Allah Swt. Jika ia telah berbuat aniaya padamu, maka serahkan urusannya pada Allah Swt. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Seorang yang dianiaya mendoakan keburukan bagi yang menganiaya dirinya sehingga menjadi imbang, kemudian yang meng­aniaya masih memiliki satu kelebihan yang bisa ia tuntut kepadanya pada hari kiamat.” Sebagian orang terus mendoakan keburukan bagi Hajjaj sehingga sebagian salaf berkata, “Allah menghukum orang-orang yang te­lah mencela Hajjaj untuknya, sebagaimana Allah meng­hukum Hajjaj untuk orang yang telah ia aniaya.”

Menghina Orang  

Kedelapan: bercanda, mengejek, dan menghina orang. Peliharalah lidahmu baik dalam kondisi serius maupun canda karena ia bisa menjatuhkan kehormatan, menu­runkan wibawa, membuat risau, dan menyakiti hati. Ia juga merupakan pangkal timbulnya murka dan marah serta dapat menanamkan benih-benih kedengkian di da­lam hati. Oleh karena itu, jangan engkau bercanda de­ngan seseorang dan jika ada yang bercanda denganmu,jangan kau balas. Berpalinglah sampai mereka mem­bicarakan hal lain.  Semua itu merupakan cacat yang terdapat pada lidah. Yang perlu kau lakukan adalah mengasingkan diri atau senantiasa diam kecuali dalam keadaan darurat. diceritakan bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. meletak­an sebuah batu di mulutnya agar tidak berbicara ke­uali saat perlu saja. Beliau menunjuk lidahnya lalu berkata, “Inilah yang menjadi segala sumber bagiku. kekanglah ia sekuat tenagamu, karena ia merupakan faktor utama yang membuatmu celaka di dunia dan akhirat.”

   Adab Perut  

Adapun perut, maka jangan kau isi ia dengan barang haram atau syubhat. Berusahalah untuk mencari yang halal. Jika engkau telah mendapatkan yang halal, berusahalah mengkonsumsinya tidak sampai kenyang. Sebab, perut yang kenyang bisa membekukan hati, me­rusak akal, menghilangkan hafalan, memberatkan ang­gota badan untuk beribadah dan menuntut ilmu, mem­perkuat syahwat, serta membantu tentara setan. Jika kenyang dari makanan halal merupakan awal segala keburukan, bagaimana jika dari yang haram? Mencari sesuatu yang halal merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Beribadah dan menuntut ilmu yang disertai mengkonsumsi makanan haram seperti membangun di atas kotoran hewan. Apabila engkau merasa cukup sela­ma setahun memakai baju yang kasar, lalu selama se­hari semalam memakan dua potong roti garing, lalu engkau tidak menikmati apa yang lezat bagi manusia, maka engkau tak butuh pada yang lain. Barang yang halal sangat banyak.  Engkau tidak perlu meyakinkan dirimu dengan menyelidiki hal-hal yang tersembunyi. Tapi engkau harus menjaga diri dari yang sudah jelas kau ketahui bahwa itu adalah haram. Atau setelah di­lihat dari ciri-ciri yang terkait dengan harta tersebut, engkau bisa menduga bahwa itu adalah haram. Apayang sudah diketahui tampak jelas secara lahir, semen­tara yang bersifat dugaan tampak dengan adanya ciri­ciri. Misalnya harta penguasa dan para pekerjanya, har­ta orang yang tak bekerja kecuali dengan cara menjual khamar, riba, judi, dan sebagainya. Jika engkau tahu bahwa sebagian besar hartanya adalah haram, maka apa yang kau terima darinya, walaupun mungkin halal, ia termasuk haram karena adanya dugaan yang kuat tadi. Yang jelas-jelas haram adalah memakan harta wakaf tanpa izin atau syarat dari si pemberi wakaf. Siapa yang melakukan maksiat, kesaksiannya tertolak, dan wakaf atau apa pun yang ia terima atas nama kesufian adalah haram.  Kami telah menyebutkan hal-hal yang terkait dengan masalah syubhat, halal, dan haram dalam satu kajian tersendiri pada kitab Ihya Ulumiddin. Pelajarilah kitab tersebut karena mengetahui yang halal dan haram wajib hukumnya bagi setiap muslim sebagaimana salat lima waktu.

Adab Kemaluan

 Adapun kemaluan, peliharalah ia dari semua yang diharamkan Allah. Jadilah sebagaimana yang disebut­kan Allah Swt, “Mereka yang menjaga kemaluan mereka, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau sahaya yang mereka miliki, maka mereka tak dapat dicela” (Q.S. al-Mukminun: 5-6). Engkau baru bisa menjaga kemaluan dengan men­jaga pandangan mata, menjaga hati untuk tidak mere­nungkannya, serta menjaga perut dari yang syubhat dan dari rasa kenyang. Karena, semua itu merupakan peng­gerak dan tempat tumbuhnya syahwat.

Adab Tangan

dua tangan, harus engkau pelihara agar ia tidak kau jadikan alat untuk memukul seorang rnuslim, untuk mendapat harta haram, untuk menyakiti sesama makh­luk, untuk berkhianat terhadap amanat dan titipan, ser­ta untuk menuliskan sesuatu yang tak boleh diucapkan karena pena merupakan lidah pula. Oleh karena itu,peliharalah pena tersebut sebagaimana engkau menjaga lidah.

Adab Kaki

 Janganlah engkau pergunakan kedua kaki untuk menuju pintu seorang penguasa lalim. Sebab, berjalan menuju para penguasa lalim tanpa ada keperluan me­rupakan maksiat yang besar karena berarti ia bersikap tawadu dan memuliakan mereka yang telah berbuat la­lirn. Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk ber­paling dari mereka dalam firman-Nya yang berbunyi, “Janganlah kalian condong kepada mereka yang telah berbuat lalim, niscaya kalian tersentuh api neraka dan kalian tidak mempunyai penolong selain Allah. Lalu kalian tidak ditolong” (QS. Hud: 113). Jika engkau pergi menemui mereka un­tuk mendapat harta, berarti engkau berusaha meraih sesuatu yang haram. Nabi Saw. bersabda, “Siapa yang bersikap merendah kepada orang kaya, sepertiga aga­manya telah hilang.” ini terhadap orang kaya yang saleh, lalu bagaimana merendah terhadap orang kaya yang lalim?  Ringkasnya, ketika engkau bergerak dan diam dengan anggota badanmu, itu semua merupakan nikmat Allah Swt. Maka dari itu, janganlah engkau menggerak­kan anggota badanmu dalam rangka maksiat kepada Allah. Tetapi pergunakanlah untuk taat kepada-Nya. Ke­tahuilah, jika engkau tak patuh maka bencananya akan kembali padamu, sementara jika kamu mau menanam, maka buahnya akan menjadi milikmu. Adapun Allah, Dia tak butuh padamu dan tak butuh pada amal per­buatanmu. Setiap jiwa tergantung pada amal perbuatan­nya.  Jangan sampai engkau berkata, “Allah Maha Pemurah Dan Maha Penyayang. Dia Maha Mengampuni dosa mereka yang bermaksiat.” Ini merupakan ungkapan yang benar tapi ditujukan pada sesuatu yang batil. Orang yang mengucapkannya termasuk dungu seperti kata Rasul Saw., “Orang yang cerdik adalah yang bisa menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk hari sesudah mati. Sedangkan orang yang dungu adalah yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah”.  Ketahuilah bahwa ucapanmu itu seperti ucapan se­seorang yang ingin menjadi fakih dalam ilmu agama tanpa mau belajar, tapi justru sibuk dengan sesuatu yang batil lalu berkata, “Allah Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Dia Maha berkuasa untuk mencurahkan ke dalam hatiku berbagai ilmu yang Dia tanamkan di hati para nabi dan wali-Nya tanpa usaha dan belajar.” Itu seperti ucapan orang yang menginginkan harta, tapi tak mau menanam, berdagang, atau berusaha kemudian berujar, “ Allah Maha Pemurah. Dia memiliki kekayaan langit dan bumi. Dia Maha Berkuasa untuk memberikan kepadaku sebagian dari khazanah kekayaan-Nya sehingga aku tak perlu bekerja. Hal itu telah Dia lakukan kepada para hamba-Nya.” Jika engkau mendengar ucapan kedua orang di atas, engkau pasti menganggap kedua orang itu bodoh dan engkau pasti mengejeknya walaupun sifat pemurah dan kuasa Allah yang ia sebutkan benar.  Demikian pula, Orang-orang yang alim dalam bidang-bidang agama akan menertawakanmu jika engkau menuntut ampunan tanpa ada usaha. Allah Swt. berfirman, “Bagi manusia apa yang ia usahakan” (Q.S. an-Najm: 39), “Kaliaan dibalas sesuai dengan amal perbuatan kalian” (Q.S. ath-Thar: 16), “Orang-orang abrar (berbuat baik) berada dalam kenikmatan sedangkan mereka yang selalu berbuat dosa berada di neraka Jahim” (Q.S. al-Infithar: 13-14).  Apabila engkau tetap menuntut ilmu dan mencari harta dengan bersandar pada kemurahan-Nya serta terus membekali diri untuk akhirat, maka Tuhan Pemelihara dunia dan akhirat adalah satu. Dia Maha Pemurah dan Penyayang baik di dunia maupun di akhirat. Ketaatanmu tidak membuat-Nya bertambah pemurah.  Hanya saja, kemurahan-Nya adalah Dia memudahkan jalan menuju negeri kenikmatan yang abadi dan kekal dengan senantisa sabar dalam meninggalkan syahwat selama beberapa saat. Ini merupakan puncak kemurahan. Jangan engkau rusak dirimu dengan ajaran jahat para pengangguran. Ikutilah para nabi dan orang-orang saleh. Jangan engkau terlalu berharap bisa memanen se­suatu yang tak kau tanam. Sedangkan orang yang ber­puasa, salat, berjihad, serta bertakwa, semoga ia diampuni.  Ini adalah beberapa hal yang patut dipelihara oleh anggota badanmu. Engkau juga harus membersihkan hatimu karena ia merupakan bentuk ketakwaan secara batin. Hati adalah segumpal daging yang jika baik ma­ka seluruh badan menjadi baik. Tapi jika segumpal da­ging itu rusak, maka seluruh badan menjadi rusak. Ber­usahalah untuk memperbaiki hatimu itu agar seluruh anggota badanmu juga baik. Hati menjadi baik dengan selalu merasakan kehadiran Allah.

 Maksiat Hati 

 القول في معاصى القلب  اعلم أن الصفات المذمومة في القلب كثيرة، وطريق تطهير القلب من رذائلها طويلة، وسبيل العلاج فيها غامض، وقد اندرس بالكلية علمه وعمله؛ لغفلة الخلق عن أنفسهم واشتغالهم بزخارف الدنيا. وقد استقصينا ذلك كله في كتاب (إحياء علوم الدين) في ربع المهلكات وربع المنجيات، ولكنا نحذرك؛ فإنها مهلكات في أنفسها، وهي أمهات لجملة من الخبائب سواها: وهي الحسد، والرياء، والعجب؛ فاجتهد في تطهير قلبك منها؛ فإن قدرت عليها فتعلم كيفية الحذر من بقيتها من ربع المهلكات. فإن عجزت عن هذا، فأنت عن غيره أعجز. ولا تظن أنك تسلم بنية صالحة في تعلم العلم، وفي قلبك شيء من الجسد والرياء والعجب، وقد قال صلى الله عليه وسلم: (ثلاث مهلكات: شح مطاع، وهوى متبع، وإعجاب المرء بنفسه) .  الحسد  أما الحسد: فهو متشعب من الشح، فإن البخيل هو الذي يبخل بما في يده على غيره، والشحيح هوالذي يبخل بنعمة الله تعالى وهي في خزائن قدرته تعالى، لا في خزائنه، على عباد الله فشحه أعظم، والمحسود هو الذي يشق عليه إنعام الله تعالى من خزائن قدرته، على عبد من عباده بعلم أو مال أو محبة في قلوب الناس، أو حظ من الحظوظ، حتى أنه ليحب زوالها عنه، وإن لم يحصل له بذلك شيء من تلك النعمة؛ فهذا منتهى الخبث؛ فلذلك قال النبي صلى الله عليه وسلم: (الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النارالحطب) . والحسود هو المعذب الذي لا يرحم، ولا يزال في عذاب دائم في الدنيا إلى موته، ولعذاب الآخرة أشد وأكبر. بل لا يصل العبد إلى حقيقة الإيمان ما لم يحب لسائر الناس ما يحب لنفسه، بل ينبغي ان يساهم المسلمين في السراء والضراء؛ فالمسلمون كالبنيان الواحد يشد بعضه بعضا، وكالجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو اشتكى سائر الجسد. فإن كنت لا تصادف هذا من قلبك، فاشتغالك بطلب التخلص من الهلاك أهم من اشتغالك بنوادر الفروع وعلم الخصومات.  الرياء  وأما الرياء: فهو الشرك الخفي، وهو أحد الشركين، وذلك طلب المنزلة في قلوب الخلق، لتنال بها الجاه والحشمة، وحب الجاه من الهوى المتبع، وفيه هلك أكثر الناس، فما أهلك الناس إلا الناس، ولو أنصف الناس حقيقة لعلموا أن أكثر ما هم فيه من العلوم والعبادات فضلا عن أعمال العادات، ليس يحملهم يحملهم عليه إلا مراءاة الناس، وهي محبطة للأعمال، كما ورد الخبر: (أن الشهيد يؤمر به يوم القيامة إلى النار، فيقول: يا رب استشهدت في سبيلك، فيقول الله تعالى: بل أردت أن يقال إنك شجاع، وقد قيل ذلك، وذلك أجرك - وكذلك يقال للعالم والحاج والقارىء.  العجب والكبر والفخر  وأما العجب والكبر والفخر: فهو الداء العضال، وهو نظر العبد إلى نفسه بعين العز والاستظام، وإلى غيره بعين الاحتقار والذل، ونتيجته على اللسان أن يقول: أنا وأنا كما قال إبليس اللعين: (أنا خير منه، خلقتني من نار، وخلقته من طين) وثمرته في المجالس الترفع والتقدم وطلب التصدر فيها، وفي المحاورة الاستنكاف من أن يرد كلامه عليه.  والمتكبرهو الذي إن وعظ أنف، أو وعظ عنف، فكل من رأى نفسه خيرا من أحد من خلق الله تعالى فهو متكبر.  بل ينبغي لك أن تعلم أن الخير من هو خير عند الله في دار الآخرة، وذلك غيب، وهو موقوف على الخاتمة؛ فاعتقادك في نفسك أنك خير من غيرك جهل محض، بل ينبغي ألا تنظر إلى أحد إلا وترى أنه خير منك، وأن الفضل له على نفسك، فإن رأيت صغيرا قلت: هذا لم يعص الله وأنا عصيته، فلا شك أنه خير مني وإن رأيت كبيرا قلت هذا قد عبد الله قبلى، فلا شك أنه خير مني وإن رأيت كبيرا قلت هذا قد عبد الله قبلي، فلا شك أنه خير مني وإن رأيت كبيرا قلت هذا قد عبد الله قبلي، فلا شك أنه خير مني. وإن كان عالما قلت: هذا قد أعطى ما لم أعط، وبلغ ما لم أبلغ، وعلم ما جهلت؛ فكيف أكون مثله وإن كان جاهلا قلت: هذا قد عصى الله بجهل، وأنا عصيته بعلم؛ فحجة الله على آكد، وما أدري بم يختم لي وبم يختم له؟ وإن كان كافرا قلت: لا أدري، عسى أن يسلم ويختم له بخير العمل، وينسل بإسلامه من الذنوب كما تنسل الشعرة من العجين، وأما أنا - والعياذ بالله - فعسى أن يضلني الله فأكفر فيختم لي بشر العمل؛ فيكون غدا هو من المقربين، وأنا أكون من المبعدين.  فلا يخرج الكبر من قلبك إلا بأن تعرف أن الكبير من هو كبير عند الله تعالى، وذلك موقوف على الخاتمة، وهي مشكوك فيه؛ فيشغلك خوف الخاتمة عن أن تتكبر مع الشك فيها على عباد الله تعالى، فيقينك وإيمانك في الحال لا يناقض تجويزك في الاستقبال؛ فإن الله مقلب القلوب يهدي من يشاء، ويضل من يشاء.

Dalil tentang ujub takabur, bangga

  حديث جامع في معاصي القلب  والأخبار في الحسد والكبر والرياء والعجب كثيرة، ويكفيك فيها حديث واحد جامع؛ فقد روى ابن المبارك بإسناده عن رجل أنه قال لمعاذ: يا معاذ حدثني حديثا سمعنه من رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: (فبكى معاذ حتى ظننت أنه لا يسكت، ثم سكت، ثم قال: واشوقاه إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وإلى لقائه، ثم قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لي: (يا معاذ، إني محدثك بحديث إن أنت حظفته نفعك عندالله، وإن ضيعته ولم تحفظه انقطعت حجتك عند الله تعالى يوم القيامة يا معاذ إن الله تبارك وتعالى خلق سبعة أملاك قبل أن يخلق السموات والأرض، فجعل لكل سماء من السبع ملكا بوابا عليها، فتصعد الحفظة بعمل العبد من حين يصبح إلى حين يمسي، له نور كنور الشمس، حتى إذا صعدت به إلى السماء الدنيا زكته وكثرته، فيقول الملك الموكل بها للحفظة: اضربوا بهذا العمل وجه صاحبه، أنا صاحب الغيبة، أمرني ربي ألا أدع عمل من اغتاب الناس يجاوزني إلى غيري، قال: ثم تأتي الحفظة بعمل صالح من أعمال العبد له نور فتزكيه وتكثره حتى تبلغ به إلى السماء الثانية، فيقول لهم الملك الموكل بها: قفوا، واضربوا بهذا العمل وجه صاحبه، إنه أرا بعمله عرض الدنيا، أنا ملك الفخر، أمرني ربي ألا أدع عمله يجاوزني إلى غيري، إنه كان يفتخر على الناس في مجالسهم، قال: وتصعد الحفظة بعمل العبد يبتهج نورا، من صدقة وصلا وصيام، قد أعجب الحفظة، فيجاوزون به إلى السماء الثالثة، فيقول لهم الملك الموكل بها: قفوا، واضربوا بهذا العمل وجه صاحبه، أنا ملك الكبر، أمرني ربي ألا أدع عمله يجاوزني إلى غيري؛ إنه كان يتكبرى على الناس في مجالسهم، قال: وتصعد الحفظة بعمل العبد يزهو كما يزهو الكوكب الدري وله دوي من تسبيح وصلاة وصيام وحج وعمرة، حتى يجاوزا به إلى السماء الرابعة، فيقول لهم الملك الموكل بها: قفوا، واضربوا بهذا العمل وجه صاحبه وظهره وبطنه، أنا صاحب العجب، أمرني ربي ألا أدع عمله يجاوزني إلى غيري؛ إنه كان إذا عمل عملا أدخل العجب فيه، قال: وتصعد الحفظة بعمل العب حتى يجاوزا به إلى السماء الخامسة كأنه العروس المزفوفة إلى بعلها، فيقول الملك الموكل بها: قفوا واضربوا بهذا العمل وجه صاحبه، ن واحملوه على عاتقه، أنا ملك الحسد، إنه كان يحسد من يتعلم ويعمل بمثل عمله، وكل من كان يأخذ فضلا من العبادة كان يحسدهم، ويقع فيهم، أمرني ربي ألا أدع عمله يجاوزني إلى غيري.  قال: وتصعد الحفظة بعمل العبد له ضوء كضوء الشمس، من صلاة وزكاة وحج وعمرة وجهاد وصيام، فيجاوزون به إلى السماء السادسة، فيقول لهم الملك الموكل بها: قفوا واضربوا بهذا العمل وجه صاحبه؛ إنه كان لا يرحم إنسانا قد من عباد الله أصابه بلاء أو مرض، بل كان يشمت به، أنا ملك الرحمة، أمرني ربي ألا أدع عمله يجاوزني إلى غيري، قال: وتصعد الحفظة بعمل العبد من صوم وصلاة ونفقة وجهاد وورع، له دوي كدوى النحل، وضوء كضوء الشمس، ومعه ثلاثة آلاف ملك، فيجاوزون به إلى السماء السابعة، فيقول لهم الملك الموكل بها: قفوا، واضربوا بهذا العمل وجه صاحبه، واضربوا جوارحه واقفلوا به على قلبه، أنا صاحب الذكر، فإني أحجب عن ربي كل عمل لم يرد به وجه ربي؛ إنه إنما أراد بعمله غير الله تعالى، إنه أراد به رفعة عند الفقهاء، وذكرا عند العلماء، وصيتا في المدائن، أمرني ربي ألا أدع عمله يجاوزني إلى غيري وكل عمل لم يكن لله تعالى خالصا فهو رياء، ولا يقبل الله عمل المرائي.. قال: وتصعد الحفظة بعمل العبد من صلاة وزكاة وصيام وحج وعمرة وخلق حسن وصمت وذكر الله تعالى، فتشيعه ملائكة السموات السبع حتى يقطعوا به الحجب كلها إلى الله تعالى، فتشيعه ملائكة السموات السبع حتى يقطعوا به الحجب كلها إلى الله تعالى، فيقفون بين يديه، ويشهدون له بالعمل الصالح المخلص لله تعالى، فيقول الله تعالى: أنتم الحفظة على عمل عبدي، وأنا الرقيب على ما في قلبه؛ إنه لم يردني بهذا العمل، وإنما أراد به غيري، فعليه لعنتي، فتقول الملائكة كلها: عليه لعنتك ولعنتنا، فتلعنه السموات السبع ومن فيهن) ثم بكى معاذ، وانتحب انتحابا شديدا، وقال معاذ: قلت يا رسول الله أنت رسول الله وأنا معا، فكيف لي بالنجاة والخلاص من ذلك؟ قال: (اقتد بي وإن كان في عملك نقص، يا معاذ حافظ على لسانك من الوقيعة في إخوانك من حملة القرآن خاصة، واحمل ذنوبك عليك، ولا تحملها عليهم، ولا تزل نفسك بذمهم، ولا ترفع نفسك عليهم، ولا تدخل عمل الدنيا في عمل الآخرة، ولا تراء بعملك، ولا تتكبر في مجلسك، لكي يحذر الناس من سوء خلقك، ولا تناج رجلا وعندك آخر، ولا تتعظم على الناس فتنقطع عنك خيرات الدنيا والآخرة، ولا تمزق الناس بلسانك فتمزقك كلاب النار يوم القيامة في النار، قال الله تعالى: (وَالناشِطاتِ نَشطا) ، هل تدري من هن يا معاذ؟، قلت: ما هن - بأبي أنت وأمي - يا رسول الله؟ قال: (كلاب في النار تنشط اللحم من العظم) ، قلت: بأبي أنت وأمي يا رسول الله، من يطيق هذه الخصال ونمن ينجو منها؟ قال: (يا معاذ إنه ليسير على من يسره الله تعالى عليه، إنما يكفيك من ذلك أن تحب للناس ما تحب لنفسك، وتكره لهم ما تكره لنفسك، فإذن أنت يا معاذ قد سلمت) . قال خالد بن معدان: فما رأيت أحدا أكثر تلاوة للقرآن العظيم من معاذ لهذا الحديث العظيم.  فتأمل أيها الراغب في العلم هذه الخصال، واعلم أن أعظم الاسباب في رسوخ هذه الخبائث في القلب: طلب العلم لأجل المباهاة والمنافسة، فالعامي بمعزل عن اكثر هذه الخصال، والمتفقه مستهدف لها، وهو متعرض للهلاك بسببها؛ فانظر آي أمورك أهم، أتتعلم كيفية الحذر من هذه المهلكات، وتشتغل بإصلاح قلبك وعمارة آخرتك؟ أم الأهم أن تخوض مع الخائضين، فتطلب من العلم ما هو سبب زيارة الكبر والرياء والحسد والعجب، حتى تهلك مع الهالكين.  واعلم أن هذه الخصال الثلاث من أمهات خبائث القلب، ولها مغرس واحد، وهو حب الدنياي ولذلك قال النبي صلى الله عليه وسلم: (حب الدنيا رأس كل خطيئة) ، ومع هذا فالدنيا مزرعة للآخرة فمن أخذ من الدنيا بقدر الضرورة، ليستعين بها على الآخرة، فالدنيا مزرعته؛ ومن أراد الدنيا ليتنعم بها، فالدنيا مهلكته.  فهذه نبذة يسيرة من ظاهر علم التقوى، وهي بداية الهداية، فإن جربت بها نفسك وطاوعتك عليها، فعليك بكتاب (إحياء علوم الدين) لتعرف كيفية الوصول إلى باطن التقوى. وإن كنت تطلب العلم من القيل والقال، والمراء والجدال، فما أعظم مصيبتك وما أطول تعبك وما أعظم حرمانك وخسرانك! فاعمل ما شئت؛ فإن الدينا التي تطلبها بالدين لا تسلم لك، والآخرة تسلب منك؛ ن فمن طلب الدنيا بالدين خسرهما جميعا، ومن ترك الدنيا للدين ربحهما جميعا.  فإذا عمرت بالتقوى باطن قلبك، فعند ذلك ترتفع الحجب بينك وبين ربك، وتنكشف لك أنوار المعارف، وتنفجر من قلبك ينابيع الحكم، وتتضح لك أسرار الملك والملكة، ويتسير لك من العلوم ما تستحقر به هذه العلوم المحدثة التي لم يكن لها ذكر في زمن الصحابة رضي الله عنهم والتابعين.  فهذه جمل الهداية إلى بداية الطريق في معاملتك مع الله تعالى بأداء أوامره واجتناب نواهيه، وأشير عليك الآن بجمل من الآداب لتؤاخذ نفسك بها في مخالطتك مع عباد الله تعالى وصحبتك معهم في الدنيا.

  Adab Bergaul 

 القسم الثالث القول في آداب الصحبة  آداب الصحبة مع الله تعالى اعلم أن صاحبك الذي لا يفارقك في حضرك وسفرك ونومك ويقظتك، بل في حياتك وموتك، هو ربك وسيدك ومولاك وخالقك، ومهما ذكرته فهو جليسك؛ إذ قال الله تعالى: (أنا جليس من ذكرين) . ومهما انكسر قلبك حزنا على تقصيرك في حق دينك، فهو صاحبك وملازمك؛ إذ قال الله تعالى: (أنا عند المنكسرة قلوبهم من أجلي) . فلو عرفته حق معرفته لاتخذته صاحبا وتركت الناس جانبا. فإن لم تقدر على ذلك في جميع أوقاتك،  فإياك أن تخلي ليلك ونهارك عن وقت تخلو فيه لمولاك وتتلذذ معه بمناجاتك له، وعند ذلك فعليك أن تتعلم آداب الصحبة مع الله تعالى. وآدابها: إطراق الرأس، وغض الطرف، وجمع الهم، ودوام الصمت، وسكون الجوارح، ومبادرة الأمر، واجتناب النهي، وقلة الاعتراض على القدر، ودوام الذكر، وملازمة الفكر، وإيثار الحق على الباطل، والإياس عن الخلق، والخضوع تحت الهيبة والانكسار تحت الماء، والسكون عن حيل الكسب ثقة بالضمان والتوكل على فضل الله تعالى معرفة بحسن الاختيار. وهذا كله ينبغي أن يكون شعارك في جميع ليلك ونهارك؛ فإنها آداب الصحبة مع صاحب لا يفارقك، والخلق كلهم يفارقونك في بعض أوقاتك.  آداب العالم  وإن كنت عالما، فآداب العالم: الاحتمال، ولزوم الحلم، والجلوس بالهيبة على سمت الوقار مع إطراق الرأس، وترك التكبر على جميع العباد إلا على الظلمة زجرا لهم عن الظلم، وإيثارا للتواضع في المحافل والمجالس، وترك الهزل والدعابة، والرفق بالمتعلم، والتأني بالمتعجرف، وإصلاح البليد بحسن الارشاد، وترك الحرد عليه، وترك الأنفه من قول: (لا أدري) وصرف الهمة إلى السائل وتفهم سؤاله، وقبول الحجة، والانقياد للحق، والرجوع إليه عند الهفوة، ومنع المتعلم عن كل علم يضره، وزجره عن أن يريد بالعلم النافع غير وجه الله تعالى، وصد المتعلم عن أن يشتغل بفرض الكفاية قبل الفراغ من فرض العين.. وفرض عينه إصلاح ظاهره وباطنه بالتقوى، ومؤاخذه نفسه أولا بالتقوى ليقتدي المتعلم أولا بأعماله، ويستفيد ثانيا من أقواله.  آداب المتعلم  وإن كنت متعلما، فآداب المتعلم مع العالم: أن يبدأه بالتحية والسلام، وأن يقلل بين يديه الكلام، ولا يتكلم ما لم يسأله أستاذه، ولا يسأل ما لم يستأذن أولا، ولا يقول في معارضة قوله: قال فلان بخلاف ما قلت، ولا يشير عليه بخلاف رأيه فيرى أنه أعلم بالصواب من أستاذه، ولا يسأل جليسه في مجلسه، ولا يلتفت إلى الجوانب، بل يجلس مطرقا ساكنا متآدبا كأنه في الصلاة، ولا يكثر عليه السؤال عند ملله، وإذا قام قام له، ولا يتبعه بكلامه وسؤاله، ولا يسأله في طريقه إلى أن يبلغ إلى منزله، ولا يسىء الظن به في أفعال ظاهرها منكرة عنده، فهو أعلم بأسراره، وليذكر عند ذلك قول موسى للخضر - عليهما السلام: (أَخَرَقتًها لِتُغرِقَ أَهلَها، لَقَد جِئتَ شَيئاً إمرا) ، وكونه مخطئا في إنكاره اعتمادا على الظاهر.
Ketahuilah bahwa ‘sahabatmu’ yang tak pernah ber­pisah denganmu entah dalam keadaan diam, bepergian, tidur, diam, bahkan dalam hidup dan matimu adalah Tuhan Penciptamu. Selama engkau mengingatNya, niscaya Dia menjadi ‘Teman dudukmu’. Sebab, Allah Swt. berkata, “Aku adalah teman duduk bagi orang yang berzikir pada-Ku.” Selama hatimu sedih karena tak mampu menunaikan kewajiban agamamu, maka Dia senantiasa menyertaimu. Sebab Allah Swt. berkata, “Aku berada bersama mereka yang hatinya sedih karena-Ku.” Apabila engkau betul-betul mengenali-Nya, niscaya engkau akan menjadikan-Nya sebagai ‘sahabat’ dan niscaya engkau akan meninggalkan yang lainnya. Jika engkau tak mampu melaksanakan hal itu setiap waktu, maka eng­kau harus menyediakan waktu di malam dan di siang hari untuk kau pergunakan berkhalwat bersama Tuhan dan merasakan kenikmatan bermunajat kepada-Nya. Ber­kenaan dengan hal itu, engkau harus mengetahui adab­-adab menjalin hubungan dengan Tuhan. Yaitu, menun­dukkan kepala, menjaga pandangan mata, mengkonsen­trasikan pikiran, senantiasa diam, menenangkan anggota badan, segera mengerjakan perintah, meninggalkan la­rangan, tidak menolak takdir, senantiasa berzikir dan berpikir, mengutamakan yang hak atas yang batil, putus asa dari makhluk, tunduk dengan perasaan hormat, ri­sau diliputi oleh rasa malu, tenang dalam berusaha ka­rena yakin atas jaminan-Nya, bertawakal kepada karunia Allah Swt. Semua ini harus menjadi karaktermu sepan­jang siang dan malam. Itulah adab menjalin hubungan dengan ‘Teman yang tak pernah berpisah denganmu.’ Adapun semua makhluk, dalam waktu tertentu akan berpisah denganmu.

01. Adab Seorang Alim (Guru)  

Jika engkau seorang alim, maka adab yang kau harus kau perhatikan adalah sabar, selalu santun, duduk dengan wibawa disertai kepala yang tunduk, tidak ta­kabur terhadap semua hamba kecuali pada mereka yang lalim dengan tujuan menghapus kelalimannya, bersikap tawadu dalam setiap majelis dan pertemuan, tidak ber­senda gurau, menyayangi murid, berhati-hati terhadap orang yang sombong, memperbaiki negeri dengan cara yang baik dan tidak marah, tidak malu untuk mengaku tidak tahu, memperhatikan pertanyaan si penanya dan berusaha memahami pertanyaannya, mau menerima hu­jah dan mengikuti yang benar dengan kembali kepada­nya manakala ia salah, melarang murid mempelajari ilmu yang berbahaya dan mengingatkannya agar tidak menuntut ilmu untuk selain rida Allah Swt, melarang murid sibuk dengan hal-hal yang bersifat fardu kifayah sebelum menyelesaikan yang fardu ain (yang termasuk fardu ain adalah memperbaiki yang lahir dan batinnya dengan takwa) serta membekali dirinya terlebih dahulu dengan sikap takwa tersebut agar sang murid bisa mencontoh amalnya, kemudian mengambil manfaat dari ucapannya.

02. Adab Seorang Murid  

Jika engkau seorang murid, maka adab yang harus dimiliki oleh seorang murid terhadap gurunya adalah mendahuluinya dalam memberi hormat dan salam, tidak banyak berbicara di hadapannya, tidak mengatakan apa yang tak ditanya oleh gurunya, tidak bertanya sebelum diberi izin, tidak mengungkapkan sesuatu yang bertentangan dengan ucapannya, misalnya dengan ber- kata, “Pendapat si fulan berbeda dengan dengan ucapanmu”, tidak menunjuk sesuatu yang berseberangan dengan pendapatnya sehingga terlihat ia lebih tahu tentang yang benar daripada gurunya, tidak bertanya kepada teman duduk gurunya dalam majelisnya, tidak menoleh ke sekitarnya, melainkan ia harus duduk dengan menundukkan pandangan disertai sikap tenang dan etika sebagaimana ketika menunaikan salat. Murid juga tak boleh banyak bertanya ketika guru sedang bosan. Jika guru berdiri maka sang murid juga harus berdiri untuknya, tidak diikuti dengan pembicaraan dan pertanyaan, tidak bertanya kepadanya dalam perjalanan menuju rumah.  Tidak berburuk sangka pada perbuatan-perbuatan yang secara lahiriah tidak bisa diterima, karena ia lebih mengetahui rahasia dibalik itu semua. Sehubungan dengan hal itu perhatikan pertanyaan Musa a.s kepada Nabi Khidir a.s, “apakah engkau sengaja melubangi perahu itu untuk menenggelamkan penumpangnya? Sungguh kamu telah melakukan kesalahan yang besar” (Q.S al-Kahfi: 71) ia salah dalam menyikapi perbuatan Nabi Khidir a.s. karena bersandar pada apa yang tampak secara lahir.

    3. Adab (Etika) Anak pada Orang Tua  آداب الولد مع الوالدين  وإن كان لك والدان، فآداب الولد مع الوالدين: أن يسمع كلامهما، ويقوم لقيامهما؛ ويمتثل لأمرهما، ولا يمشي أمامهما، ولا يرفع صوته فوق أصواتهما، ويلبي دعوتهما، ويحرص على مرضاتهما، ويخفض لهما جناح الذل، ولا يمن عليهما بالبر لهما ولا بالقيام لأمرهما، ولا ينظر إليهما شذراً، ولا يقطب وجهه في وجههما، ولا يسافر إلا بإذنهما.  أصناف الناس في العلاقة بالمرء  واعلم أن الناس بعد هؤلاء في حقك ثلاثة أصناف: إما أصدقاء، وإما معاريف، وإما مجاهيل.  آداب العلاقة بالعوام المجهولين  فإن بليت بالعوام المجهولين، فآداب مجالستهم: ترك الخوض في حديثهم، وقلة الإصغاء إلى أراجيفهم، والتغافل عما يجري من سوء ألفاظهم، والاحتراز عن كثرة لقائهم والحاجة إليهم، والتنبيه على منكراتهم باللطف والنصح عند رجال القبول منهم.  آداب العلاقة بالاخوان والأصدقاء وأما الإخوان والاصدقاء فعليك فيهم وظيفتان: الوظيفة الأولى  شروط الصحبة والصداقة  إحداهما: أن تطلب أولا شروط الصحبة والصداقة، فلا تؤاخ إلا من يصلح للاخوة والصداقة، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل) . فإذا طلبت رفيقا ليكون شريكك في التعلم، وصاحبك في أمر دينك ودنياك، فراع فيه خمس خصال: الأولى: العقل: فلا خير في صحبة الأحمق، فإلى الوحشة والقطيعة يرجع آخرها، وأحسن أحواله أن يضرك وهو يريد أن ينفعك، والعدو العاقل خير من الصديق الأحمق، قال علي رضي الله عنه:  فَلا تَصحَب أَخا الجَهلِ ... وَإِياكَ وَإِياهُ فَكَم مِن جاهِلٍ أَردى ... حَليماً حِينَ آَخاهُ يُقاسُ المَرءُ بِالمَرءِ ... إذا ما المَرءُ ماشاهُ كَحَذو النَعلِ بِالنَعلِ ... إِذا مالنَعلُ حاذاهُ وَلِلشَىء مِنَ الشَىء ... مَقاييِسُ وَأَشباهُ وَلِلقَلبِ عَلى القَلبِ ... دَليلٌ حِينَ يَلقاهُ  الثانية: حسن الخلق: فلا تصحب من ساء خلقه، وهو الذي لا يملك نفسه عند الغضب والشهوة. وقد جمعه علقمة العطاردي رحمه الله تعالى في وصيته لابنه لما حضرته الوفاة، قال: يا بني إذا أردت صحبة إنسان فاصحب من إذا خدمته صانك، وإن صحبته زانك، وإن قعدت بك مؤنة مانك.. اصحب من إذا مددت يدك بخير مدها، وإن رأى منك حسنة عدها، وإن رأى منك سيئة سدها.  اصحب من إذا قلت صدق قولك، وإن حاولت أمرا أمرك، وإن تنازعتما في شر آثرك.  وقال علي رضي الله عنه رجزا:  إِن أخاكَ الحَقُ مَن كانَ مَعَك ... وَمَن يَضر نَفسه لِيَنفَعَك وَمَن إِذا ريبَ الزَمانُ صَدعَكَ ... شَتَتَ فيك شَملَهُ لِيَجمَعَك .

 Adab Seorang Anak  Jika engkau mempunyai kedua orang tua, maka adab seorang anak kepada kedua orang tuanya adalah memerhatikan ucapan mereka, berdiri manakala mereka berdiri, mengerjakan perintah mereka, tidak berjalan di depan mereka, tidak meninggikan suara di atas suara mereka, menyambut panggilan mereka, mencari rida mereka, merendahkan diri di hadapan mereka, tidak mengungkit-ngungkit amal bakti yang telah dilakukan kepada mereka, tidak menatap mereka secara tajam, tidak bermuka masam kepada mereka, dan tidak pergi kecuali dengan izin mereka.  Jenis Pergaulan Ada tiga  Ketahuilah! Setelah itu manusia terbagi atas tiga kelompok: sebagai teman, sebagai kenalan, atau sebagai orang awam (orang bodoh).  1. Adab Bergaul Dengan Orang Awam (Bodoh)  Jika engkau kebetulan bertemu dengan orang bodoh, maka hendaknya engkau tidak ikut serta dalam pem­bicaraan mereka, mengabaikan ucapan-ucapan dusta mereka, tidak memperhatikan ucapan-ucapan buruk mereka, berusaha untuk tidak sering bertemu dan butuh pada mereka, mengingatkan perbuatan mungkar mereka secara lemah lembut, serta memberikan nasihat manakala diharapkan bisa mereka terima.  2. Adab Bergaul dengan Saudara atau Teman  Sedangkan terhadap saudara dan teman, ada dua tugas yang harus kau perhatikan:  Tugas pertama, Terlebih dahulu engkau harus melihat kriteria orang yang bisa dijadikan sahabat atau teman. Jangan engkau bersahabat kecuali dengan orang yang benar-benar layak dijadikan saudara atau sahabat. Rasulullah Saw. bersabda, “Seseorang bergantung pada agama teman karibnya. Oleh karena itu, hendaknya kalian memperhatikan siapa yang harus dijadikan teman karib.” Manakala engkau ingin mencari teman yang bisa menyertaimu dalam belajar serta bisa menemanimu dalam urusan agama dan dunia, perhatikan lima hal berikut ini:  1. Akal .  Tidak ada untungnya bergaul dengan orang bodoh karena bisa berakhir kepada kemalangan dan terputusnya hubungan. Paling-paling mereka hanya akan memberikan mudarat kepadamu serta ingin memanfaatkanmu. Musuh yang pandai lebih baik daripada teman yang bodoh. Imam Ali r.a. berkata:  Janganlah engkau bergaul dengan orang bodoh Hendaknya kau betul-betul menghindarinya  Betapa banyak orang bodoh yang menghancurkan si penyabar ketika ia menginginkannya Seseorang diukur dengan orang lain di mana orang itu mengikutinya  Seperti sepasang sendal yang sama di mana sendal itu menyerupainya Sesuatu dan yang lain mempunyai ukuran dan kemiripan  Hati yang satu menjadi petunjuk bagi hati yang lain ketika berjumpa  2. Akhlak Yang Baik.  Jangan engkau bersahabat dengan orang yang buruk akhlaknya. Yaitu, orang yang tak bisa menahan diri ketika muncul amarah dan syahwat. Alqarnah al-‘Atharidi rahimahullah, dalam wasiatnya kepada putranya manakala akan wafat, telah mengungkapkan hal itu, “Wahai anakku, jika engkau ingin bergaul dengan manusia, bergaullah dengan orang yang jika kau layani dia menjagarnu, jika kau temani dia membaguskanmu. Bersahabatlah dengan orang yang jika engkau ulurkan tanganmu untuk kebaikan ia juga mengulurkannya, jika melihat kebaik­anmu ia mengingatnya, dan jika melihat keburukanmu ia meluruskannya. Bersahabatlah dengan orang yang jika engkau mengungkapkan sesuatu, ia membenarkan ucapanmu itu, jika engkau mengusahakan sesuatu ia membantu dan menolongmu, serta jika kalian berselisih dalam sebuah persoalan ia mengalah padamu.” Imam Ali r.a. mengungkapkan syair rajaznya:  Sesungguhnya saudaramu adalah yang ada bersamamu, yang membiarkan dirinya menderita demi kepentinganmu,  Dan yang jika bingung dia menjelasme glue Manny'sDia rusak integritas dirinya untuk mengumpulkan dirimu

BERSAMBUNG  KLIK DI SINI



Tidak ada komentar:

Posting Komentar