“Man YuridiLlâhu bihi khairan yufaqqihhu fiddîn (Siapa pun yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya, Allah akan beri pemahaman padanya dalam urusan agama)” (HR al-Bukhari dan Muslim). Para santri mungkin tidak asing lagi dengan hadits di atas. Meski mereka tidak langsung membacanya di kitab Shahîhain, hadits tersebut pasti ditemukan di awal kitab Matan al-Ghayah wa at-Taqrîb karya al-Qâdhi Abu Syuja’, yang sehari-hari mereka kaji di pesantren. Kitab ini mengulas soal dasar-dasar hukum Islam atau yang kerap disebut ilmu fiqih. Ilmu fiqih dapat dipastikan ada di setiap kurikulum lembaga pendidikan keislaman, baik pondok pesantren di Indonesia, maupun lembaga lainnya di seluruh penjuru dunia. Yang demikian karena ilmu fiqih adalah ilmu yang sangat penting. Ia menyangkut tingkah laku atau perbuatan tiap orang yang sudah memikul tanggung jawab hukum (mukallaf). Maka tidak salah jika ilmu fiqih, dalam kitab Ta’lim Muta’allim disebut sebagai ‘sebaik-baiknya pemimpin’, paling utamanya ilmu, perisai yang melindungi dari marabahaya, dan juga orang yang ahli fiqih lebih baik daripada orang ahli ibadah. Dalam syair di kitab itu disebutkan: تَفَقَّهْ فَــــإِنَّ الْفِقْهَ أَفْضَـــلُ قَـــائِــدٍ ۞ إِلَى الْبِرِّ وَالتَّــقْوَى وَأَعْدَلُ قَـــاصِدٍ هُوَ الْعَلَمُ الْهَادِى إِلَى سُنَنِ الْهُدَى ۞ هُوَ الْحِصْنُ يُنْجِى مِنْ جَمِيْعِ الشَّدَائِدِ فَــــإِنَّ فَقِيْــــهاً وَاحِــــداً مُتَوَرِّعًا ۞ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَــــابِدٍ “Belajarlah ilmu fiqih karena sesungguhnya fiqih itu ilmu penuntun yang paling utama kepada kebaikan dan ketakwaan, serta lebih kuatnya tujuan. Ilmu Fiqih ialah tanda yang menunjukan kepada jalan-jalan petunjuk, ia laksana perisai yang menyelamatkan dari marabahaya. Sesungguhnya satu orang ahli fiqih yang wira`I (hati-hati), itu lebih ditakuti oleh setan daripada seribu orang ahli ibadah (tetapi bodoh)” (Syekh Burhanuddin al-Zarnuji, Ta’lîm al-Muta’allim fî Tharîq at-Ta’allum, Beirut: Dar Ibnu Katsîr, cetakan ke-3, 2014, h. 34) Kitab ini disusun oleh Syekh Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Asfihâni atau dikenal dengan al-Qâdhi Abu Syuja’ (433-593 H). Dalam sebagian naskah, kitab ini dinamakan dengan “Matan Taqrîb”, dan sebagian naskah lainnya dinamakan “Ghâyatul Ikhtishâr”, oleh sebab demikian Syekh Ibn Qâsim al-Ghâzi memberikan dua nama untuk kitab syarah Taqrîb yang beliau tulis: Fathul Qarîb al-Mujîb fî Syarh Alfâdz at-Taqrîb dan Al-Qawl al-Mukhtâr fî Syarh Ghâyah al-Ikhtishâr (Syekh Ibn Qâsim al-Ghâzi, Fathul Qarîb, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005, h. 19) Sesuai dengan namanya, kitab ini disusun dengan sangat ringkas, bahasanya tidak terlalu sulit, tidak memuat banyak perbedaan pendapat. Latar belakang penyusunan kitab ini ialah permintaan sebagian sahabat al-Qâdhi Abu Syuja’, agar beliau berkenan untuk menyusun kitab fiqih mazhab Imam Syafii yang ringkas, mudah dihafal, dan gampang dicerna sistematika pembahasannya, khususnya bagi pelajar pemula. Kemudian beliau pun mengabulkan permintaan tersebut dan menyusun Matan Taqrîb. Sang pengarang kitab ini berdoa semoga Allah subhanahu wata’ala mengganjarnya dengan pahala, dan memberinya taufik kepada kebenaran, sebab sesungguhnya Allah Mahakuasa atas apa yang Ia kehendaki dan Maha Lemah Lembut serta Maha Mengetahui hamba-hamba-Nya (al-Qâdhi Abu Syujâ’, Matan al-Ghâyah wa at-Taqrîb, Beirut: Dar el-Masyâri’, 1996, h. 5). Matan Taqrîb ini sudah berusia ratusan tahun. Meski demikian, ia tetap eksis hingga saat ini, tak hanya dikaji oleh para pelajar tapi juga diberi syarah (penjelasan atas isi kitab) oleh banyak para ulama. Kemudian dari syarah tersebut, para ulama lain memberikan hasyiah (penjelasan atas syarah), bahkan sebagian ulama lainnya menjadikannya nadham atau uraian dalam bentuk syair. Di antara syarah Matan Taqrîb adalah Fathul Qarîb al-Mujîb karya Ibn Al-Qasim al-Ghâzi, Kifâyatul Akhyâr fî Halli Ghâyatu al-Ikhtishâr karya al-Hishni, an-Nihâyah fî Syarh Al-Ghâyah karya Muhammad Waliyuddin Al-Bashiri, al-Iqnâ’ fî Halli Alfâdzi Abî Syujâ’ karya Al-Khâtib As-Syirbini. Selain berupa syarah, ada juga di antara para ulama yang memberi penegasan dasar argumentasi Matan Taqrîb, seperti yang dilakukan Dr. Mushtafa Dieb Al-Bugha. Beliau menulis kitab berjudul “at-Tahdîb fî Adillati Matni Ghâyah at-Taqrîb” yang isinya adalah dalil-dalil dari pembahasan dalam Matan Taqrîb. Beberapa syarah Matan Taqrîb diberi hasyiah atau komentar atas penjelasan oleh para ulama, di antaranya adalah, Hâsyiah al-Barmâwi ‘ala Syarh Ibn Qâsim karya al-Barmâwi, Hâsyiah Al-Baijuri ‘ala Syarh Ibn Qâsim al-Ghâzi karya Syekh Ibrahim al-Baijuri, Qûtul Habib Al-Gharîb Tawsyîh ‘ala Fathil Qarîb al-Mujîb karya Syeikh Nawawi Al-Bantani. Juga sebagian ulama membuatnya dalam bentuk nadhom, salah satunya adalah karya Syekh Syarafuddin al-‘Imrîthy, Nihâyah at-Tadhrib fî Nadhmi Ghâyah at-Taqrîb. Dengan kemasyhuran dan manfaatnya yang banyak bagi lintas kalangan; ulama maupun pelajar, kitab ini mendapat banyak pujian. Ada sebuah syair yang memuji kitab ini: أَيَــا مَنْ رَامَ نَفْعًـا مُسْتَمِرًا ۞ لِيَحْظَى بِارْتِفَــاعٍ وَانْتِفَـاعِ تَقَرَّبْ لِلْعُلُوْمِ وَكُنْ شُجَاعًا ۞ بِتَقْرِيْبِ الْإِمَامِ أَبِي شُجَاعِ “Wahai seseorang yang ingin suatu kemanfaatan yang terus berlanjut, hendaknya ia memperolehnya dengan ketinggian dan kemanfaatan. Mendekatlah kepada ilmu pengetahuan dan jadilah engkau seorang yang pemberani, dengan wasilah kitab Taqrîb karya al-Imam Abu Syujâ’” (Syekh Ibn Qâsim al-Ghâzi, Fathul Qarîb, h. 6). Selain syair di atas, al-Khathîb asy-Syirbîni mengungkapkan dalam mukaddimahnya, “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengetahui keikhlasan niat Syekh Abu Syuja’ ketika menyusun kitab ini, sebab keikhlasannya manfaat kitab ini menyebar, maka sedikit sekali dari para penuntut ilmu melainkan akan membaca terlebih dahulu kitab ini, entah dengan menghafal atau membacanya” (Syekh Ibn Qâsim al-Ghâzi, Fathul Qarîb, h. 6). Baca juga: Rahasia di Balik Keistimewaan Kitab Taqrib Matan Taqrîb memuat 17 pembahasan (kitab), yang di dalamnya terdapat pasal-pasal. Secara urut kitab ini dimulai dengan mukadimah dari al-Qâdhi Abu Syujâ’, selanjutnya ada isi pembahasan, yaitu: Kitab ath-Thaharah membahas tata cara bersuci. Di dalam bab ini terdapat beberapa pasal, dan pasal tersebut berisikan poin-poin yang terkadang disusun secara numeral, misalnya: (فصل) وفروض الوضوء ستة أشياء النية عند غسل الوجه وغسل الوجه وغسل اليدين إلى المرفقين ومسح بعض الرأس وغسل الرجلين إلى الكعبين والترتيب على ما ذكرناه. (Pasal) Perkara-perkara yang fardhu dalam wudhu ada 6, yaitu: Niat saat membasuh muka Membasuh muka Membasuh kedua tangan sampai siku Mengusap sebagian kepala Membasuh kedua kaki sampai mata kaki Dilakukan secara tertib dari nomor 1 sampai 5 Setelah pembahasan terkait ath-Thahârah beserta pasal-pasalnya, selanjutnya adalah pembahasan shalat, zakat, puasa, haji, jual beli, warisan dan wasiat, nikah, tindak pidana, had atau sanksi, jihad, berburu hewan dan sembelihan, perlombaan dan memanah, sumpah dan nadzar, dan yang terakhir adalah pembahasan terkait pembebasan budak. Semua pembahasan tadi terbagi kepada banyak pasal seperti halnya bab ath-thaharah di atas. Karena Matan Taqrîb ini sangat ringkas, barangkali ada sebagian kita yang menganggap pendapat-pendapat dalam kitab ini râjih atau kuat dalam mazhab Syafi’i. Padahal, ada beberapa pendapat yang lemah. Kita dapat mengetahui pendapat itu lemah dengan mengeceknya langsung dalam kitab-kitab syarah ataupun hasyiah. Misalnya adalah dalam pasal yang membahas istinja’, al-Qâdhi Abu Syuja’ mengatakan dalam Matan Taqrîb: ولا يستقبل الشمس والقمر ولا يستدبرهما “Hendaknya tidak menghadap matahari dan bulan, dan tidak membelakangi keduanya” (al-Qâdhi Abu Syujâ’, Matan al-Ghâyah wa at-Taqrîb, h. 7). Pendapat di atas menegaskan kemakruhan menghadap matahari dan bulan, atau membelakainya. Namun, Syekh Ibrahim al-Baijuri menyebutkan dalam hasyiahnya: قوله (ولا يستدبرهما) ضعيف، فالمعتمد عدم كراهة الاستدبار “Pendapat al-Qâdhi Abu Syujâ’ (‘…dan makruh membelakangi matahari dan bulan..’) itu lemah, maka yang mu’tamad/kuat adalah ketidakmakruhan membelakangi keduanya” (Syekh Ibrâhim al-Baijûri, Hâsyiah al-Baijuri ‘ala Syarh Ibn Qâsim al-Ghâzi, Beirut: Dar el-Kutub al-‘Ilmiyah, cetakan kedua, 1999, juz 1, h. 125). Selain permasalahan di atas, masih ada beberapa lagi pendapat yang dhaif dalam Matan Taqrîb yang dapat diketahui jika melihat kitab-kitab syarah Matan Taqrîb maupun hasyiahnya. Kendati demikian kitab tipis ini sangat diberkahi. Meski banyak kitab-kitab fiqih yang pembahasan tidak jauh beda dengan kitab ini, namun Matan Taqrîb sampai saat ini tidak tergeser eksistensinya di kalangan para pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar